Jumat, 07 Agustus 2020

Jenderal Hoegeng Iman Santoso, Polisi Jujur Berintegritas yang Namanya Abadi




Jenderal Polisi (Purn.) Hoegeng Imam Santoso lahir di Pekalongan, Jawa Tengah pada 14 Oktober 1921. Dia adalah salah satu tokoh kepolisian Indonesia yang pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) ke-5 yang bertugas dari tahun 1968-1971.

Menariknya nama jabatan Kapolri adalah idenya kala itu, menggantikan istilah Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak).

Berasal dari kalangan ningrat, Hoegeng masuk pendidikan HIS (setingkat SD) pada usia enam tahun, kemudian melanjutkan ke MULO (setingkat SMP) tahun 1934. Dia lantas menempuh sekolah menengah di AMS Westers Klasiek tahun 1937.

Setelah itu Hoegeng belajar ilmu hukum di Rechts Hoge School (RHS) Batavia tahun 1940. Sewaktu pendudukan Jepang, dia mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943). Setelah itu dia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang Semarang (1944), Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan Polisi Tentara Laut Jawa Tengah (1945-1946). Kemudian mengikuti pendidikan Polisi Akademi dan bekerja di bagian Purel, Jawatan Kepolisian Negara.

Tahun 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, Georgia, Amerika Serikat. Dari situ dia menjabat Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952). Lalu menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatra Utara (1956) di Medan.

Nama Hoegeng dikenal luas berkat aksinya dalam memberantas mafia kriminal meliputi korupsi, perjudian dan penyelundupan di Medan, Sumatera Utara. Dia menunjukkan integritas dan kejujuran sebagai petugas polisi dengan menolak tegas semua bentuk suap.

Sebagaimana salah satu kisahnya saat menolak gratifikasi mobil dan rumah mewah berikut perabot-perabotnya yang diberikan mafia untuknya. Alhasil Hoegeng beserta keluarganya lebih memilih untuk menginap di hotel.

Di Medan, Hoegeng dianggap sukses memberantas kejahatan konvensional. Hal ini membuatnya ditarik ke Jakarta mengemban beberapa tugas negara. Tahun 1959, Hoegeng mengikuti pendidikan Pendidikan Brimob dan menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara lalu Kepala Jawatan Imigrasi d i tahun 1960.

Cerita menarik turut terjadi dalam kariernya sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. Sehari sebelum dilantik, Hoegeng menutup usaha bunga milik sang istri, Meriyati “Merry” Roeslani. Pasalnya Hoegeng khawatir bunga barang dagangan sang istri diborong koleganya yang mengharapkan sesuatu darinya.

Tahun 1965 sebelum terjadinya pemberontakan G30S PKI, Hoegeng sempat menjadi Menteri luran Negara dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966. Setelah itu Hoegeng pindah kembali ke markas Kepolisian Negara kariernya terus menanjak. Di situ dia menjabat Deputi Operasi Pangak dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi juga masih dalam 1966.

Di masa Presiden Soeharto, Hoegeng dipercaya menjabat Pangak (Kapolri) pada 9 Mei 1968 menggantikan Soetjipto Joedodihardjo. Saat menjadi Kapolri, Hoegeng melakukan pembenahan beberapa bidang yang menyangkut struktur organisasi di tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur yang baru lebih terkesan lebih dinamis dan komunikatif.

Pada masa jabatannya terjadi perubahan nama pimpinan polisi dan markas besarnya. Berdasarkan Keppres No.52 Tahun 1969, sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) diubah menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri). Dengan begitu, nama Markas Besar Angkatan Kepolisian pun berubah menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabes Pol).

Perubahan itu membawa sejumlah konsekuensi untuk beberapa instansi yang berada di Kapolri. Misalnya sebutan Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) menjadi Kepala Daerah Kepolisian RI atau Kadapol. Demikian pula sebutan Seskoak menjadi Seskopol.

Di bawah kepemimpinan Hoegeng peran serta Polri dalam peta organisasi Polisi Internasional, International Criminal Police Organization (ICPO) makin aktif. Hal itu ditandai dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.

Kebijakan penting lainnya yang lahir dari kepemimpinan Hoegeng yaitu kewajiban pengendara motor untuk mengenakan helm. Kebijakan ini dicetuskannya lantaran melihat tingginya angka kematian akibat kecelakaan sepeda motor.

Namun integritas dan kejujuran Hoegeng pula yang membuatnya diberhentikan dari jabatan Kapolri. Lantaran kegigihannya dalam menyelidiki kasus-kasus hukum dan kriminal yang bersinggungan dengan kepentingan penguasa. Khususnya kasus penyelundupan mobil mewah yang dilakukan Robby Tjahjadi dan pemerkosaan gadis desa Sum Kuning.

Karena terlalu vokal menyuarakan kebenaran, Hoegeng dipensiunkan dini pada 2 Oktober 1971 dengan alasan peremajaan institusi. Anehnya, pengganti Hoegeng yaitu Mohamad Hasan berusia lebih tua ketimbang Hoegeng.

Semasa pensiun, Hoegeng melakoni hobinya bernyanyi dan bermain musik, khususnya dengan kelompok pemusik Hawaii, The Hawaiian Seniors. Selain ikut menyanyi, dia juga memainkan ukulele. Dia juga tampil selama setahun di televisi bersama dengan kelompok musik tersebut.

Di tahun 1980 Hoegeng bersama 49 tokoh menandatangani Petisi 50, gerakan kritik kepada Rezim Soeharto yang dianggap melenceng dari tujuan awal kemerdekaan RI. Karena kritiknya tersebut, hak-hak perdata Hoegeng bersama para tokoh lainnya dikebiri, termasuk hak ekonomi. Dia bahkan sempat dilarang menghadiri peringatan HUT Bhayangkara.

Hoegeng meninggal pada 14 Juli 2004 di umur 82 tahun karena strok. Namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Bahayangkara di Mamuju dengan nama Rumah Sakit Bhayangkara Hoegeng Imam Santoso.


Kisah Kapolri Kedua Pada Masa Kemerdekaan

Foto: R. Soekarno Djojonegoro (Kapolri Ke- II) Masa Kemerdekaan

Raden Soekarno Djojonagoro adalah Kepala Kepolisian Negara/ Menteri Muda Kepolisian II. Ia menjabat sejak 15 Desember 1959 sampai 8 Januari 1964. Ia dilahirkan pada tanggal 15 Mei 1908 di Barjarnegara, Jawa Tengah. Soekarno lahir dari kalangan ningrat. Ayahnya adalah Raden Adipati Ario Djajanagoro II, Bupati Banjarnegara dan ibunya adalah Raden Ajeng Rachmat Mangoenprawiro. Ayahnya memiliki banyak istri dan mempunyai 24 putra-putri. Soekarno sendiri adalah putra ke-12. Dengan keadaan yang demikian, Soekarno kurang mendapat perhatian dari sang ayah.Tahun 1914 Soekarno masuk sekolah di Hollands Inlandsche School (HIS). Perawatan dan pengawasan atas dirinya dilakukan oleh kakak perempuan ibunya, Ibu Suroyo. Ia tidak pintar, tapi tekun. Seperti kebanyakan anak kecil, seusai sekolah ia biasa bermain. Kegemarannya adalah menonton wayang semalam suntuk. Setelah lulus dari HIS, pada bulan Juli 1918, Soekanto melanjutkan sekolah MULO di Purwokerto. Selama bersekolah di MULO, Soekanto cukup disenangi dan dikenal oleh teman-temanya karena kebiasaannya melawak. Pada tahun 1925, Sokarno Djojonagoro terpilih menjadi ketua Jong Java daerah Purwokerto. Setelah lulus dari MULO, pada bulan Juli 1926 ia melanjutkan sekolahnya di Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaar (OSVIA) di Magelang. Sewaktu sekolah di OSVIA, selain aktif dalam Jong Java, ia juga aktif dalam berbagai diskusi tentang nasionalisme dan menjadi ketua Pandriyotomo (organisasi yang bergerak dalam bidang kebudayaan).

Pada bulan Agustus 1928, R. Soekarno berhasil menamatkan pendidikannya di OSVIA. Sebulan kemudian, ia diterima bekerja sebagai Ambtenaar Bij/de Inlandsche Bestuurdienst (AIB) dan ditempatkan di Kawedanan Ajibarang, Kabupaten Purwokerto. Di sana ia dikenal sebagai orang yang baik. Soekarno kemudian dipindahtugaskan ke Kawedanan Purbalingga. Bilamana ada liburan, ia sering rekreasi bersama teman-temannya ke Guwa Ijo di daerah Banyumas. R. Soekarno Djojonagoro menikah dengan R.A. Soekatinah pada tanggal 5 Juni 1929. Setahun kemudian lahirlah putri pertama mereka bernama Wahyuningsih. Mulai tanggal 21 April 1931, R. Soekarno dipindahkan ke kota Pati, Jawa Tengah untuk menjabat sebagai Mantri Polisi. Dari Pati, R. Soekarno dialihtugaskan ke Kudus dengan jabatan yang baru, yakni sebagai mantri veld politie (polisi luar kota). Ia sering mendapat premi dari pemerintah karena berhasil mengusut pembuatan arak gelap dan pemotongan hewan gelap. Selama bertugas di Pati dan Kudus Soekarno selalu menentang adat Jawa kuno. Sering kali tindakannya membuat ia dimarahi oleh atasannya.Tahun 1934, R. Soekarno diangkat menjadi Asisten Wedana dan ditempatkan di Rowokele, Kabupaten Banyumas. Kemudian ia dipindahtugaskan ke daerah Lampung untuk membina para transmigran dari Jawa. Di sini ia mengalami tekanan yang besar dalam pekerjaannya. Suatu saat ia pernah berdebat dengan Residen dan akibatnya ia dikirim kembali ke Jawa. 

Akibat tindakannya yang selalu menentang atasannya, Soekarno akhirnya diberhentikan dari jabatannya. Atas usaha kakaknya, Soekarno diangkat ekmbali menjadi Fd. mantri kepolisian di Kedungwuni, Pekalongan. Setelah enam bulan bertugas di sana, ia dipindahkan ke Pucakwangi, Pati. Setelah 4 tahun bertugas, ia dipindahkan lagi ke Winong. Di Winong ia hanya bertugas selama 1 tahun. Kemudian ia pindah lagi ke Tegal sebagai Asisten Wedana Polisi. Januari 1942 ia dipindahkan ke hoofdbeureau di Semarang. Akan tetapi, karena tidak ada jabatan yang sesuai dengan pangkatnya, maka ia kembali ke Banjarnegara.Setelah Jepang berkuasa R. Soekarno dipanggil Kepala Kepolisian Semarang untuk menjadi Kepala Seksi IV Candibaru.

Wewenangnya adalah menahan orang-orang Belanda dan Indo-Belanda. Pada bulan Mei 1943, R. Soekarno dipindahkan ke Salatiga dan diangkat menjadi Kepala Kepolisian. Pertengahan Januari 1944, Soekarno dipindahkan kembali ke Semarang. Ia diangkat menjadi Komandan Tokubetsu Keisatsutai (Pasukan Polisi Istimewa). Ketika menjadi komandan, ia melihat perlakuan kasar terhadap anggotanya yang dilakukan oleh atasannya. Atas hal itu, ia memutuskan untuk keluar dari kesatuan. Bulan April 1944 keluar surat pemecatan dirinya. Sebulan setelah dipecat, Soekarno diangkat kembali menjadi Keibikaco (Komandan Penjagaan) di Kantor Besar Polisi Semarang. Setelah Jepang kalah keadaan kota Semarang menjadi kacau. Orang-orang Indonesia yang bereuforia terhadap kemerdekaan membalas tindakan kasar yang pernah diterimanya kepada orang-orang Jepang. Terjadi pertempuran antara pasukan Jepang dengan para pemuda, BKR, dan polisi Indonesia. Banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak. Kemudian peristiwa itu dikenal dengan nama Pertempuran Lima Hari di Semarang. Setelah Sekutu datang, R. Soekarno diangkat menjadi Kepala Umum Kantor Besar Polisi Semarang dengan pangkat Komisaris Polisi Kelas II. Terjadilah pertempuran dengan Sekutu karena Indonesia mengetahui bahwa Sekutu diboncengi oleh NICA. Menurut SK Kepolisian Negara No.445/Pol, R. Soekarno diangkat menjadi Kepala Polisi Karesidenan Semarang dengan pangkat Komisaris Polisi Tk. I. 7 bulan kemudian ia dipindahkan dan diangkat menjadi Kepala Polisi Karesidenan Pekalongan.

Akibat perjanjian Renville, maka seluruh anggota kepolisian RI harus meninggalkan garis van Mook dan masuk ke daerah RI. Komisaris Polisi R. Soekarno dipindahkan ke Jawatan Kepolisian Negara di Yogyakarta dan diangkat sebagai anggota Komisi Gencatan Senjata. Ketika terjadi pemberontakan PKI Madiun, R. Soekanno ditugaskan ke daerah Solo, Purwodadi, Kudus, dan Cepu guna membantu menyusun kembali kepolisian yang telah hancur akibat serangan PKI.
Pada 1 April 1950, R. Soekarno dinaikkan pangkatnya menjadi Pembantu Komisaris Besar Polisi. Bulan Mei, ia dpindahkan dan diangkat menjadi Kepala Polisi Karesidenan Semarang. Ia hanya menjabat selama 3 bulan. Dalam bulan Agustus, ia dipindahkan dan diangkat menjadi Kepala Polisi Karesidenan Surabaya. Jabatan itu pun tidak lama dipegangnya. Tanggal 1 Januari 1951, ia diangkat menjadi Kepala Kepolisian Provinsi Jawa Timur.

Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo Kapolri Pertama yang Teguh di Jalur Kebatinan


Di hari tuanya, sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung pada 1970-an, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo masih menjadi bahan cerita. Soekanto adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang pertama (1945-1959).

Pada 1970-an itu dia dikaitkan dengan wangsit gaib Sawito soal perubahan kehidupan politik Indonesia. Isi wangsit tersebut boleh dibilang sangat subversif pada zamannya: Soeharto, presiden daripada Republik Indonesia, harus menyerahkan kekuasaannya kepada Mohammad Hatta demi kebaikan negeri. 

Sawito adalah menantu Soekanto. Kasus wangsit itu membikin Sawito masuk bui dan mertuanya jadi perbincangan publik. Selain kasus Sawito, Soekanto juga kerap dikaitkan dengan Tarekat Mason Bebas alias Freemason.

Mengikuti Jejak Sang Ayah

Soekanto lahir di Bogor pada 7 Juni 1908 dan cukup mentereng sejak masa mudanya. Dia adalah lulusan HBS KW III, yang gedungnya kini menjadi kompleks Perpustakaan Nasional di Salemba, Jakarta Pusat. 
Soekanto kemudian memilih untuk mengikuti jejak ayahnya, yang saat itu merupakan pensiunan mantri polisi di Tangerang. Maka pada 1930, Soekanto mendaftar di Sekolah Aspiran Komisaris Polisi di Sukabumi. Sebelum masuk sekolah polisi itu, dia sempat aktif di Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).

Sejak 1933, masih menurut Ambar Wulan, Soekanto menjadi aspiran komisaris polisi kelas tiga dan bertugas di bagian lalu lintas di Semarang. Kemudian dia dipindah ke bagian reserse dan berlanjut di Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Di antara tiga bagian itu, seperti dicatat buku Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia: Jenderal Polisi R.S. Soekanto (2000: 24), yang paling disukai Soekanto adalah reserse.

Ambar Wulan menyebut (hlm. 34), selain di Semarang, Soekanto pernah pula bertugas pada bagian pengawasan di Purwokerto dengan pangkat komisaris polisi kelas dua dan kemudian menjabat Kepala Polisi Seksi III di Semarang. Sejak 1940, Soekanto ditugaskan menjadi pimpinan teknis di Kalimantan bagian selatan sambil merangkap sebagai Wakil Kepala Polisi Banjarmasin dengan pangkat komisaris polisi kelas satu. Hingga datangnya Jepang, dia masih di sana. Setelahnya dia ditempatkan di Jakarta, lalu dijadikan pengawas di sekolah polisi Sukabumi.

Ketika Indonesia baru saja merdeka, Soekanto berhubungan dengan dua kolega lawasnya, Mr. Sartono dan Iwa Kusumasumantri. Kedua penasihat Presiden Sukarno ini mengajak Soekanto ke sidang kabinet pada 29 September 1945. Menurut Ambar Wulan, Sartono dan Iwa sebelumnya tidak memberi tahu bahwa Sukarno sedang membutuhkan orang untuk dijadikan kepala jawatan kepolisian. Ternyata, dalam sidang kabinet itu, Sukarno menunjuk Soekanto untuk mengisi jabatan tersebut.

Ketika ditunjuk Sukarno, Soekanto sempat menyampaikan bahwa ada perwira polisi yang lebih senior darinya seperti Asikin Natanegara di Gunseikanbu, Ating Natakusumah di Palembang, dan Raden Joesoef bin Snouck Hurgronje di Bandung. Sukarno pun memberi ketegasan soal pengangkatan Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN). Pengangkatan itu terkait masa lalu Soekanto di era pergerakan nasional.

Di awal tugasnya sebagai KKN, Soekanto berada di bawah Menteri Dalam Negeri R.A.A. Wiranatakoesoemah V. Setelah November 1945, atasan Soekanto ganti lagi, yakni Sutan Sjahrir, yang merangkap jabatan Perdana Menteri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Luar Negeri, hingga Maret 1946. Pada 1 Juli 1946 keluar Surat Penetapan No 11/S-D tahun 1946 yang mengeluarkan kepolisian dari Departemen Dalam Negeri untuk menjadi jawatan tersendiri di bawah kendali langsung Perdana Menteri.

Soekanto sempat berkantor di Jalan Rijswijk (kini menjadi Jalan Veteran) di kantor Kementerian Dalam Negeri. Ketika ibu kota RI pindah ke Yogyakarta, kepolisian pun ikut pindah ke Purwokerto dari Jakarta. Sementara itu, militer Inggris sebagai perwakilan tentara Sekutu di Indonesia barat pada 16 Januari 1946 membentuk Civil Police (polisi sipil) di Jakarta. Menurut Ambar Wulan (2009: 39), Soekanto pernah ditangkap tentara Inggris dan ditawari bergabung dalam Civil Police, namun dia menolaknya. Soekanto sebagai orang yang pernah dekat dengan pergerakan nasional lebih memilih berdiri di belakang Republik.

Bersama jabatan itu, Soekanto merasakan bahaya revolusi. Dalam suatu kunjungan ke Jawa Timur.


Ketika Indonesia baru saja merdeka, Soekanto berhubungan dengan dua kolega lawasnya, Mr. Sartono dan Iwa Kusumasumantri. Kedua penasihat Presiden Sukarno ini mengajak Soekanto ke sidang kabinet pada 29 September 1945. Menurut Ambar Wulan, Sartono dan Iwa sebelumnya tidak memberi tahu bahwa Sukarno sedang membutuhkan orang untuk dijadikan kepala jawatan kepolisian. Ternyata, dalam sidang kabinet itu, Sukarno menunjuk Soekanto untuk mengisi jabatan tersebut.

Ketika ditunjuk Sukarno, Soekanto sempat menyampaikan bahwa ada perwira polisi yang lebih senior darinya seperti Asikin Natanegara di Gunseikanbu, Ating Natakusumah di Palembang, dan Raden Joesoef bin Snouck Hurgronje di Bandung. Sukarno pun memberi ketegasan soal pengangkatan Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN). Pengangkatan itu terkait masa lalu Soekanto di era pergerakan nasional.

Di awal tugasnya sebagai KKN, Soekanto berada di bawah Menteri Dalam Negeri R.A.A. Wiranatakoesoemah V. Setelah November 1945, atasan Soekanto ganti lagi, yakni Sutan Sjahrir, yang merangkap jabatan Perdana Menteri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Luar Negeri, hingga Maret 1946. Pada 1 Juli 1946 keluar Surat Penetapan No 11/S-D tahun 1946 yang mengeluarkan kepolisian dari Departemen Dalam Negeri untuk menjadi jawatan tersendiri di bawah kendali langsung Perdana Menteri.

Soekanto sempat berkantor di Jalan Rijswijk (kini menjadi Jalan Veteran) di kantor Kementerian Dalam Negeri. Ketika ibu kota RI pindah ke Yogyakarta, kepolisian pun ikut pindah ke Purwokerto dari Jakarta. Sementara itu, militer Inggris sebagai perwakilan tentara Sekutu di Indonesia barat pada 16 Januari 1946 membentuk Civil Police (polisi sipil) di Jakarta. Menurut Ambar Wulan (2009: 39), Soekanto pernah ditangkap tentara Inggris dan ditawari bergabung dalam Civil Police, namun dia menolaknya. Soekanto sebagai orang yang pernah dekat dengan pergerakan nasional lebih memilih berdiri di belakang Republik.

Bersama jabatan itu, Soekanto merasakan bahaya revolusi. Dalam suatu kunjungan ke Jawa Timur.

Didongkel Gara-Gara Kebatinan

Soekanto menjabat Kepala Kepolisian Negara dari 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959. Ketika akan lengser, nama jabatan Soekanto adalah Menteri Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak). Pada era itu polisi mulai menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso menyebut pelengseran Soekanto dari jabatan Menpangak boleh dikata cukup unik. Soekanto didongkel oleh sekelompok perwira tinggi yang menganggap dirinya lebih mementingkan urusan kebatinan ketimbang urusan kepolisian. Lagi pula, di mata para perwira ini, peran Soekanto tidak lagi efektif sebagai kepala polisi negara.

Soekanto sempat ditawari menjadi duta besar di Turki, namun menolak. Pengganti Soekanto sebagai Menpangak adalah Soekarno Djojonegoro.

Soekanto tutup usia pada 24 Agustus 1993, tepat hari ini 26 tahun lalu, di Jakarta. Dia dimakamkan satu liang dengan istrinya yang lebih dulu meninggal pada 1 Maret 1986, Hadidjah Lena Mokoginta, kakak dari Letnan Jenderal Ahmad Junus Mokoginta.

Sebagai kepala polisi pertama, paling tidak namanya telah diabadikan sebagai nama rumah sakit milik kepolisian di Kramat Jati, Jakarta Timur.

Tragedi Mobrig Polisi Terjun Payung Di Blitar 1948



Pada saat Jawatan Kepolisian Negara Pusat memerintahkan Pak Jasin mengirimkan Mobile Brigade Besar Jawa Timur (MBB) untuk memperkuat Kepolisian Madiun menjelang Peristiwa Pemberontak PKI Madiun 1948, Namun sebelum kekuatan MBB Jawa Timur yang telah dipersiapkan tiba, kaum Komunis di Madiun telah melakukan aksi penculikan dan pembunuhan terhadap para penjabat Republik Indonesia. Aksi aksi teror itu dilakukan untuk menguasai Madiun dan menjadikannya basis perjuangan.
Hubungan Madiun dengan Yogyakarta dan Blitar pun terputus. Oleh karena itu, Jawatan Kepolisian Negara di Yogyakarta menugaskan Komisaris Polisi Soeprapto untuk menyampaikan surat perintah ke Pak Jasin selaku Komandan MBB Jawa Timur dengan cara Terjun Payung di Blitar yang menjadi Markas MBB Jawa Timur.

Dua orang perwira tentara turut dalam penugasan ini untuk diterjunkan ke Blitar. Di Maguwo, mereka mendapat petunjuk melakukan penerjunan dengan parasut tanpa latihan terlebih dahulu.
Penerjunan itu terpaksa dilakukan karena di kota Blitar tidak ada bandar udara dan dilakukan dengan menggunakan pesawat kecil yang diterbangkan oleh seorang pilot berkebangsaan Amerika.
Setengah berada di atas alun-alun Blitar, pilot memerintahkan mereka untuk terjun, tetapi ketiganya tidak berani.
Pesawat kembali berputar-putar dan menuju alun-alun Blitar lagi untuk menerjunkan mereka, tapi hasilnya tetap sama.

Akhirnya, pilot menyerahkan tugasnya ke kopilot dan bergabung dengan ketiga perwira tersebut.
Ketika kopilot memberikan isyarat untuk terjun, pilot Amerika itu langsung menendang Soeprapto dan dua perwira lainya secara bergiliran.
Komisaris Polisi Soeprapto dan Mayor Islam dapat terjun dengan selamat, sedangkan perwira tentara satunya jatuh diatas atap rumah penduduk agak jauh dari alun alun Blitar. Rakyat mengiranya sebagai mata mata musuh sehingga dia dikepung dan ditangkap. Untungnya, dia dapat diselamatkan.
Pak Jasin menjemput mereka bertiga untuk kemudian dibawa ke markas MBB Jawa Timur. Di markas, Komisaris Polisi Soeprapto menyerahkan surat perintah Kepala Jawatan Kepolisian Negara Pusat. Surat itu memerintahkan Pak Jasin menyimpankan kekuatan Mobile Brigade Besar Jawa Timur untuk bersama-sama Divisi Siliwangi merebut kembali Madiun yang telah dikuasai oleh pihak Komunis.

"Mobile Brigade Polisi Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 Di Yogyakarta"



Kepolisian mengirimkan kesatuan Mobile Brigade dalam melakukan serangan umum 1 maret 1949. Pasukan Mobrig tersebut dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok I berkekuatan kurang lebih 100 orang langsung di bawah pimpinan Subroto Darsoprayitno berkedudukan Dukuh Manulis, Kelurahan Sumber Sari Kecamatan Moyudan. Kelompok II yang berkekuatan kurang lebih kurang lebh 100 orang dipimpin oleh M. Ayaiman berkedudukan di Kelurahan Ngijon Kecamatan Moyudan Yogyakarta.
Dalam melakukan serangan tersebut, pasukan yang telah dibagi menjadi dua kelompok menyerang pasukan Belanda melalui tiga arah. Dari arah barat kompi Mobile Brigade di bawah pimpinan Subroto Darsiprayitno berkedudukan di Manulis, Sumbersari, Moyudan bergerak menuju kota Yogyakarta. Kompi ini memperkuat markas komando Subwherkeise 103 A pimpinan H.N. Sumual Dari arah Selatan kompi MBB-DKN terdiri dari Seksi Kompi Johan Suparno yang bermarkas di sekitar Kotagede dan kompi kecil pasukan Musiman yang bermarkas di Ganjuran Bantul bergerak melalui jalan desa masuk kota Yogyakarta. Kompi ini memperkuat Subwherkeise 102 pimpinan Mayor Sardjono. Dari arah utara kompi polisi Pimpinan Sumarjan yang berkedudukan di Rejondan, Sleman menuju Yogyakarta untuk memperkuat SWK 104 pimpinan Mayor Soekarso




Pasukan mobile Brigade Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terlibat langsung dalam serangan Umum 1 Maret 1949 adalah pasukan kelompok II dibawah pimpinan M. Ayatiman, ditambah dengan 1 regu dengan kelompok I dibawah pimpinan M. Sarjono. Pasukan Kelompok II dibagi dalam 3 seksi, masing- masing dipimpin oleh Agen Polisi I Jilian, Ajun Polisi I Jihan, Agen Polisi I langdung Harsono dan Ajun Polisi I Sugiyo. Kompi Ayatiman bergerak menuju Lempuyangan. Mereka bertemu dengan pasukan Belanda yang bergerak dari daerah Sosrowijayan ke arah timur. Dalam kontak senjata yang terjadi antara kedua pasukan itu, seorang anggota kompi ayatiman gugur. Akan tetapi, kompi ini tetap mempertahankan lempuyangan sampai ke bagian Barat jalan Malioboro dari serangan musuh. Di tempat lain, kompi Subroto berkekuatan dua peleton yang masing-masing dipimpin oleh Sugiyo dan Jilan melancarkan serangan terhadap kedudukan di Patuk. Pasukan Belanda tidak mampu bertahan dan mengundurkan diri. Selanjutnya, daerah Patuk dikepung oleh kompi subroto.
Kedudukan Belanda di Pojok Benteng Timur diserang oleh Kompi Dhohan Suparni. Serangan itu gagal karena pertahanan Belanda di tempat ini sangat kuat. Selain pasukan Mobile Brigade, anggota kepolisian yang terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah Polisi Pelajar Pertempuran (P3). Anggota kepolsian tersebut yang masih mengenyam pendidikan kepolisian, karena dalam situasi peperangan maka mereka harus ikut terjun dalam peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, pasukan Polisi Pelajar Pertempuran (P3) dibagi menjadi tiga kelompok yaitu, seksi II Agen Polisi Kairun, Seksi Agen Polisi Supardan dan Seksi Agen Polisi Sukidjo. Salah satu anggota Kepolisian dari Seksi II yang bernama M.A. Tari bersama temannya bertugas untuk menyerang Pos Belanda yang berada di sebelah timur pojok Benteng Wetan. Seksi II Agen Polisi Supardan mendapatkan tugas ke Karangkajen dan sebagian memperkuat pasukan yang ada di pojok Benteng Wetan. Seksi Ajun Polisi Sukidjo (Seksi Senjata Berat) mendapat tugas ke Pleret.
Sesuai dengan instruksi dari Mayor Sardjono, Inspektur Polisi II Johan Soeparno pada tanggal 28 Februari 1949 mengadakan brifing atau pengarahan kepada semua pasukannya. Briefing dilaksanakan pada pukul 16.00 di Markas Besar Banyakan Yogyakarta. Setelah semua persiapan matang, maka serangan pun akan dilakukan. Pada tanggal 1 Maret 1949 pasukan Polisi Pelajar Pertempuran mulai mempersiapkan diri untuk memulai serangan. Pada jam 06.00 pasukan Polisi Perjuangan pun mengambil posisi untuk bergerak serentak untuk melakukan penyerangan ke kota Yogyakarta dari berbagai penjuru. Pasukan yang dipimpin oleh M.A. Tari mencoba untuk menyerang tangsi tangsi Belanda. namun karena pasukan M.A. Tari itu lebih sedikit dibandingkan dengan pasukan Belanda, maka mereka menarik diri ke markas Polisi Pelajar Pertempuran di Banyakan. Selain itu pasukan Seksi Kairan dan Seksi Supardal harus mengundurkan diri ke daerah Pojok Benteng Wetan Yogyakarta. Mundurnya pasukan Polisi Pelajar Pertempuran ke daerah tersebut membuka peluang bagi pasukan Belanda untuk masuk ke Kotagede. Akibat tekanan yang terus dilakukan oleh pasukan Belanda, kekuatan pasukan Polisi Pelajar Pertempuran menjadi melemah sehingga komandan Djohan Soeparno menginstruksikan untuk terus mengundurkan diri. Pada akhirnya pasukan Polisi Pelajar berhasil meloloskan diri dari cengkraman serangan musuh dan tidak ada korban jiwa atas penyerangan pasukan Belanda tersebut.
Bila ada kisah kisah tambahan seputar peran Mobrig dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 bisa ditambahkan di kolom komentar, terima kasih

Inspektur Polisi Tk II Djohan Soeparno Komandan Pasukan Polisi Pelajar Pertempuran Yogyakarta


Di SPN Ambarukmo terdapat sebuah pasukan yang diberi nama Pasukan Polisi Pelajar Pertempuran atau yang sering disebut dengan MBB DKN P3 (Mobile Brigade Besar Djawatan Kepolisian Negara Polisi Pelajar Pertempuran) atau yang sering disebut dengan P3, yang merupakan sebuah kompi dari pasukan Mobile Brigade yang anggotanya mayoritas pelajar yang sedang menempuh pendidikan di Sekolah Polisi Negara (SPN) Ambarukmo. SPN Ambarukmo sebenarnya adalah rumah peristirahatan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang beliau persilahkan untuk dijadikan tempat pendidikan Polisi setelah SPN Mertoyudan di Magelang terusik Agresi Militer Belanda I yang dilancarkan pada 21 Juli 1947. Sejak itu, Sekolah Polisi ini pun harus berpindah dari satu daerah ke daerah lain dan para siswanya sudah dikirim ke berbagai kesatuan lain untuk ikut gerilya. SPN Mertoyudan adalah lembaga pendidikan polisi pertama yang didirikan pemerintah RI ketika belum setahun merdeka. SPN Mertoyudan ini resmi berdiri pada 17 Juni 1946, yang peresmiannya langsung dihadiri Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan SPN Mertoyudan jadi pusat pendidikan Polisi RI era kemerdekaan.
Pasukan Polisi Pelajar Pertempuran merupakan anggota korps Mobile Brigade yang masih menempuh pendidikan. Mereka diasramakan agar tidak mudah terpengaruh oleh dunia luar, terjaga kesehatanya, terjaga kedisiplinanya, terjaga moralnya dan mudah digerakkan secara cepat, serta agar terjadi kekompakkan dan persatuan antar anggota P3. Senjata yang mereka gunakan seperti halnya yang digunakan oleh pasukan Mobile Brigade misalnya karabin, mitraliur. pistol, dan lain sebagainya, Pasukan P3 ini dipimpin oleh Inspektur Polisi Tk II Djohan Soeparno.
Setelah Belanda menyerang Maguwo, markas dari Pasukan P3 ini bergeser dari Ambarukmo ke Banjardadap, kemudian bergeser lagi ke Gunung Indrokilo, dan akhirnya bermarkas di rumah Hadirowi di Desa Banyakan. Kompi P3 ini selain bermarkas di Banyakan juga tersebar di Segoroyoso 1 regu, di Gunung Indrokilo 1 regu, di Gunung Watugender 1 regu, di desa Pamota-Jlamprang Kal. Jambidan 1 regu, di Ngablak Kal. Situmulyo 1 regu.
Pada pukul 06:30 pagi tanggal 19 Desember 1948, pesawat-pesawat terbang musuh telah ramai di atas kota Yogyakarta. Di Kota Yogyakarta hanya ada beberapa pasukan yang menghambat laju Belanda yang ingin memasuki kota Yogyakarta. Penghambatan laju musuh tersebut bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada para petinggi di Gedung Agung untuk melakukan rapat guna memutuskan langkah yang akan ditempuh. Melihat adanya pasukan Belanda, pasukan Polisi Ambarukmo segera terjun langsung melakukan penghambatan di Ambarukmo dan menyebar ke selatan yaitu ke Gedong Kuning. Pasukan Belanda mendapat hambatan yang cukup merepotkan dari pasukan Polisi Pelajar Pertempuran. Mestinya jarak Maguwo-Yogya bisa ditempuh hanya dalam setengah jam saja, tapi pada saat itu Belanda berhasil menduduki kota pada pukul 16:00 WIB. Gerakan pasukan P3 hanya bersifat menghambat sesuai dengan instruksi Pangsar Jendral Soedirman.
Untuk menghemat amunisi dan jumlah personil serta berpegangan kepada Perintah Siasat dan perintah kilat Pangsar Jendral Soedirman maka seluruh kesatuan menuju kawasan pegunungan dan pedesaan di luar kota Yogyakarta. Untuk itu, sebagian pasukan P3 bergerak menuju Godean dari Ambarukmo mundur kearah Kaliurang melewati Turi kemudian melewati Jalan Magelang dan berakhir di Gamping dan Demakijo Sleman. Sedangkan sebagian lagi mundur ke arah markas yang telah dipilih yaitu kawasan sekitar Kali Opak Bantul. Sebelumnya sebagian Pasukan P3 bermarkas di Banjardadap kemudian pindah ke Gunung Indrokilo dan pada akhirnya bermarkas di Desa Banyakan. Setelah melakukan pengunduran diri dari Ambarukmo ke Godean pasukan P3 melanjutkan gerakkanya menuju selatan Bantul terus ke Ganjuran-Imogiri-Karangsemut, untuk bergabung dengan Pasukan P3 yang telah bermarkas di Banyakan.
Serangan balasan dilakukan sejak tanggal 29 Desember 1949, 9 Januari 1949, 4 Februari 1949 dan serangan kucing-kucingan tiap malam oleh pasukan gerilyawan dikenal dengan nama pasukan Hantu Maut. Pasukan P3 juga mempunyai pasukan hantu maut yang beroperasi di jalur Kotagede hingga Pleret. Untuk mempermudah hubungan markas komando dengan medan sebelah barat dalam rangka persiapan Serangan Umum 1 Maret 1949, maka pada tanggal 29 Februari 1949 Markas Komando Wehrkreise dipindahkan dari Segoroyoso ke Bibis, Kelurahan Bangunjiwo Kabupaten Bantul. Semenjak Markas Komando Wehrkreise dipindah ke Bibis daerah Pleret-Kotagede menjadi daerah kekuasaan Pasukan Polisi Pelajar Pertempuran (P3). Pasukan P3 sering melakukan serangan terhadap tangsi-tangsi Belanda dan mencegah pembersihan yang dilakukan oleh Belanda di beberapa wilayah di sekitar Bantul.
Pada saat Serangan Umum 1 Maret 1949, Pasukan P3 dibagi menjadi tiga kelompok yaitu, Seksi II AP. Kairun yang langsung dipimpin oleh Wakil Pemimpin P3 M. Tari yang bertugas untuk menyerang Pos Belanda yang berada di sebelah timur pojok Benteng Wetan. Seksi AP. Supardal mendapat tugas ke Karangkajen dan sebagian memperkuat pasukan yang ada di Pojok Benteng Wetan. Seksi AP. Sukidjo (Seksi Senjata Berat) mendapat tugas ke Pleret. Sesuai dengan instruksi dari Mayor Sardjono, Insp Pol Tk II DJohan Soeparno pada tanggal 28 Februari 1949 mengadakan briefing atau pengarahan kepada semua pasukanya. Briefing dilaksanakan pada pukul 16:00 di Markas Besar Banyakan. Pasukan yang bertugas dalam Serangan Umum 1 Maret diwajibkan untuk menggunakan janur kuning. Hal tersebut digunakan untuk membedakan antara lawan dan kawan. Setelah semua persiapan dan pengarahan selesai pasukan P3 mulai berangkat menuju sasaran masing-masing.
Pada pukul 22:00 tanggal 28 Februari 1949 pasukan AP Sukidjo mulai mendekati Daerah Pleret untuk melakukan serangan. Tanda dimulainya serangan yaitu dengan letusan pistol oleh Komandan Insp Pol Tk II Djohan Soeparno. Ketika mulai terdengar suara pistol mulailah dilakukan serangan di Pleret. Pasukan Belanda terkejut dengan serangan dari Pasukan P3. Pasukan Belanda yang saat itu kurang persiapan dan terkejut tidak dapat melakukan serangan balasan kepada Pasukan Polisi Pelajar Pertempuran. Akibatnya, pasukan Belanda terusir dan di mundur ke daerah Kota Gede. Selain daerah Pleret posko Belanda yang terdapat di Barongan juga dapat direbut oleh pasukan Polisi Pelajar Pertempuran. Setelah mundur dari Pleret menuju Kota Gede, pasukan Belanda kembali dihadang oleh Pasukan Polisi Pelajar Pertempuran di bawah pimpinan langsung Djohan Soeparno. Serangan terhadap Belanda dilancarkan pada pagi hari. Pasukan P3 pada dini hari tersebar ke beberapa titik sasaran yang telah ditentukan. Begitupun dengan pasukan P3 yang mempunyai tugas untuk menyerang pojok Benteng wetan bersama-sama dengan pasukan 102 lainya. Pasukan P3 yang bertugas di pojok Benteng Wetan di bawah pimpinan M.A Tari berkekuatan sekitar 1 seksi.
Pada tanggal 1 Maret 1949, tepat pukul 06:00 terdengar suara sirine tanda berakhirnya jam malam. Bersamaan itu pula segera pasukan yang telah lama stelling mengambil posisi untuk bergerak serentak menyerbu kota Yogyakarta dari berbagai penjuru. Begitupun, pasukan M.A Tari mulai melakukan serangan terhadap tangsi tangsi Belanda. Tangsi-tangsi Belanda membalas serangan tersebut. Dikarenakan kekuatan antara Belanda dan Pasukan P3 tidak seimbang semua pasukan ditarik mundur dan diarahkan menuju markas Polisi Pelajar Pertempuran di Banyakan. Pasukan Seksi Kairun dan Supardal yang lansung di bawah pimpinan M.A Tari mengundurkan diri dari daerah Pojok Benteng Wetan setelah pukul 09:00.
Mundur pasukan P3 dari Pojok Benteng Wetan memudahkan pasukan Belanda bergerak menuju Kotagede untuk membantu Pasukan Belanda yang berada di Kotagede. Pasukan belanda yang berada di Kotagede semakin banyak dan mengakibatkan kekuatan P3 melemah. Untuk itu, Insp Pol Tk II Djohan Soeparno pada pukul 12:00 menginstruksikan kepada seluruh pasukan P3 untuk mundur dan kembali ke markasnya di Banyakan. Dalam gerakan mundur pasukan Djohan Soeparno dan M.A Tari secara terus menerus mendapat serangan dari Belanda melalui pesawat udara. Pada akhirnya, pasukan P3 sampai di markas Banyakan pada pukul 13:00 tanpa ada korban dari pasukan P3.

Komandan Polisi Moesa Polisi Istimewa Soerabaia



Pasukan Polisi Istimewa berniat untuk menarik mundur pasukannya dan pasukan yang lain ke markasnya di Coen Boulevard, untuk ke markasnya tersebut mereka harus melalui Kedungdoro yang ternyata sudah menjadi pertahanan Sekutu sehingga terjadi pertempuran sengit. Pada pertempuran inilah Komandan Polisi Musa gugur setelah terkena pecahan mortir musuh.
Mantan anak buah Musa di Polisi Istimewa pada saat pertempuran sedang berlangsung yaitu, Agen Polisi III Moekari mengkisahkan bahwa, Moekari bergerak mendahuli Musa sambil melindunginya tapi, Musa berteriak dan memarahi Moekari, Musa sebagai komandan harus berada di depan dan anak buahnya berada di belakangnya. Moekari menggambarkan Musa sebagai seorang pejuang sejati dan berjuang dengan ikhlas tanpa pamrih demi tegaknya Republik Indonesia.
pada saat Musa gugur, ditemukan secarik kertas di dalam saku bajunya yang berisi tentang pesan meminta kepada rekan-rekannya untuk terus melanjutkan perjuangannya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan meminta supaya kalau dia meninggal ingin dimakamkan di Lawang karena isterinya tinggal di daerah tersebut.

Alfatihah untuk alm Komandan Polisi Moesa, Aamiin
#Roodebrugsoerabaia

Tragedi Ngadiboyo Nganjuk 1949



Kisah Perjuangan Polisi Nganjuk 1949






Tepatnya 14 April 1949 sekitar pukul 20.00 WIB. Hari itu, suasana di sejumlah wilayah Kabupaten Nganjuk sangat mencekam, karena Belanda dalam agresi militer keduanya berhasil menduduki kota Nganjuk. Situasi ini memaksa Insp Pol Tk 1 A. Wiratno Puspoatmojo, yang saat itu sebagai Kepala Polisi Kabupaten Nganjuk (Kapolres) untuk mengambil tindakan cepat. Insp Pol Tk 1 Wiratno memerintahkan anggotanya untuk melaksanakan patroli dan penyisiran ke daerah pinggiran untuk mempertahankan wilayah serta melindungi masyarakat Nganjuk. Selain itu juga untuk mencegah agar pasukan/tentara Belanda yang berusaha memasuki wilayah Nganjuk lewat perbatasan tidak bertambah banyak. Sedikitnya ada dua regu yang diperintah oleh Kepala Polisi Kabupaten Nganjuk untuk patroli. Satu regu bergerak ke arah sektor selatan, berkedudukan di Desa Nglaban Kecamatan Loceret, dipimpin langsung oleh Insp Pol Tk 1 A. Wiratno Puspoatmojo. Satunya lagi, di sektor utara dipimpin Pembantu Inspektur Polisi II Pagoe Koesnan. Rombongan patroli sektor utara dipimpin Agen Polisi I Soekardi, beranggotakan 17 Polisi Rombongan sektor utara bermarkas di Dukuh Baleturi, Desa Ngadiboyo, di sebuah Loji (sebutan bangunan Belanda), yakni perumahan milik Perhutani Nganjuk.
Patroli dilaksanakan dengan jalan kaki, mengarah ke Dukuh Alas Jalin, Desa Ngadiboyo. Lantaran waktu itu, minim sarana untuk mendukung tugas Patroli. Mungkin keuntungan Patroli jalan kaki waktu itu adalah lebih bisa menyisir wilayah-wilayah lebih ke dalam dan terpisah, sehingga gerakan mereka tidak mudah diketahui Belanda. Selain itu, regu patroli pejuang polri lebih menguasai medan dibandingkan dengan tentara Belanda sehingga menguntungkan pejuang bila terjadi pertempuran. Mereka menyusuri pematang sawah, hutan, serta pemukiman penduduk. Lokasi rumah penduduk satu dengan lainnya masih berjauhan, membuat para Pejuang Polisi lebih waspada, sigap dan siaga dalam melaksanakan tugas patroli.

Sekitar tengah malam, patroli hingga sampai Dusun Alas Jalin, perbatasan Nganjuk – Madiun. Para Pejuang Polisi bertemu tentara Belanda yang bermarkas di wilayah Saradan, Kabupaten Madiun. Akhirnya terjadi kontak senjata antara kedua belah pihak. Sebenarnya pihak pejuang menyadari kekuatan kedua belah pihak tidak berimbang. Di pihak musuh (Belanda) dilengkapi senjata lebih modern dibanding senjata yang dimiliki para pejuang yaitu M95 (Mannlicher M1895 ). Tak heran, para pejuang berhasil dipukul mundur dan patroli dihentikan. Para pejuang kembali ke markas semula di Loji, Dusun Turi, Desa Ngadiboyo, sekitar pukul 03.20 WIB. Mereka beristirahat hingga tertidur karena kelelahan setelah melakukan patroli.
Tidak menyangka, ternyata pelarian para pejuan diikuti terus oleh tentara Belanda. Hingga sampai ditemukan markas para pejuang di Dusun Turi, Desa Ngadiboyo. Para Pejuang Polisi yang sudah terlelap tidur tidak mengira sama sekali, bahaya telah mengancam. Tiba-tiba tentara Belanda menyerang markas dari arah selatan Loji. Mengetahui serangan berasal dari tentara Belanda, para pejuang lebih memilih bertahan dalam kegelapan Loji, tanpa sorot lampu. Pagi yang gelap gulita itu, memaksa tentara Belanda mendobrak pintu Loji dan memaksa masuk, mencari persembunyian para polisi. Dengan membawa lampu “belor”, mengantarkan cahaya lampu itu ke persembunyian para pejuang. Dengan nada keras, tentara Belanda memaksa para pejuang untuk keluar dari persembunyiannya dan berkumpul di halaman. Namun tak satupun para pejuang menuruti perintah tentara Belanda.
Tentara Benlanda percaya bahwa para pejuang tidak lagi memiliki kemampuan untuk menyerang balik, lantaran persenjataan dan amunisi yang dimiliki sudah menipis saat serangan di perbatasan Nganjuk – Madiun. Perintah untuk keluar tidak dituruti oleh para pejuang, hingga terpaksa tentara Belanda memaksanya keluar.

Dua orang tentara Belanda terus mendobrak masuk dan mengarahkan lampu “belor” ke seluruh ruangan. Seorang membawa senjata lengkap sambil menenteng lampu “belor”, satunya lagi mengawal temannya dengan terus berteriak, “keluar…keluar…”. Sepasukan lainnya berjaga-jaga diluar Loji. Saking jengkelnya, akhirnya tentara Belanda menyeret para Pejuang Polisi ke luar ruangan untuk berkumpul di halaman. Mereka berdiri berjajar sambil mengangkat tangan. Aksi tutup mulut dari pihak para pejuang terus terjadi hingga menyulut kegeraman pihak tentara Belanda. Lebih-lebih, saat ditanya, apakah di dalam Loji telah tersimpan senjata, tidak mendapat jawaban. Tiba-tiba Belanda memberondongkan senjatanya arah para Pejuang Polisi, para Pejuang Polisi berusaha lari untuk menyelamatkan diri akan tetapi sebanyak 12 orang meninggal di tempat, tiga orang luka berat, dan dua orang berhasil melarikan diri. Selesai melakukan penyerangan, Tentara Belanda kembali kemarkasnya di Saradan.

Tiga korban luka berat, yakni Lasimin, Sukidjan alias Oeripno, dan Suparlan. Sedangkan dua Pejuang Polisi yang berhasil lolos, yakni Agen Polisi II Ramelan dan Agen Polisi II Suripto. Ramelan kabur dari kepungan tentara Belanda dengan membobol pintu belakang Loji. Mereka bersembunyi dalam parit belakang Loji, lalu berlari dengan membawa senjata rekan – rekannya yang telah gugur ditembak tentara Belanda. Ramelan berlari menuju Pos Wedegan, Kecamatan Rejoso untuk minta bantuan Pembantu Inspektur Polisi I Pagoe Koesnan.
Bersamaan suara keras tembakan dari arah Desa Ngadiboyo, di tempat lain, Kesatuan Batalyon Guritno langsung bergerak mencari sumber tembakan. Dalam perjalanan sekitar 8 kilometer, salah satu anggota batalyon Guritno, Satimin menghampiri warga masyarakat sedang membawa tiga korban luka berat menuju Pos Kesehatan Tentara di Desa Ngujung, Kecamatan Gondang. Saat ditanya, salah satu korban menjawab, “Saya korban pertempuran Turi”.

Menerima laporan, Pagoe Koesnan langsung langsung bergerak menuju ke Loji Dusun Baleturi Desa Ngadiboyo bersama sejumlah warga Rejoso. Mereka langsung menolong korban yang masih hidup dan mengevakuasi jenazah para Pejuang Polisi yang gugur. Evakuasi berlangsung selama sekitar dua jam tersebut, dipimpin Kepala Polisi Nganjuk Insp Pol Tk 1 Wiratno Puspoatmojo. Korban hidup dilarikan ke Pos Kesehatan Tentara di desa Ngujung – Gondang. Sedangkan, pejuang yang gugur, jenazahnya dimakamkan di Desa Balonggebang Kecamatan Gondang.
Pertempuran para Pejuang Polisi melawan tentara Belanda, 15 April 1949 tersebut dikenang sebagai “Tragedi Ngadiboyo”. Sedikitnya 12 Pejuang Polisi meninggal, 3 luka berat, dan dua selamat, di lokasi (Loji milik Perhutani) Dusun Baleturi, Desa Ngadiboyo, Kecamatan Rejoso. Untuk mengenang jasa perjuangan para Pejuang Polisi yang gugur mempertahankan kemerdekaan RI, 15 di lokasi tersebut dibangun sebuah monumen “Tragedi Ngadiboyo”.

Dalam pertempuran Ngadiboyo, 12 Pejuang Polri gugur, yaitu;

1. Agen Pol Kelas II Bagoes
2. Agen Pol Kelas II Diran / Sogol
3. Agen Pol Kelas II Laiman
4. Agen Pol Kelas II Soekatmo
5. Agen Pol Kelas II Moestadjab
6. Agen Pol Kelas II Soemargo
7. Agen Pol Kelas II Sardjono
8. Agen Pol Kelas II Saimun,
9. Agen Pol Kelas II Samad
10. Agen Pol Kelas II Masidi
11. Agen Pol Kelas II Simin, dan
12. Agen Pol Kelas II Musadi.
Korban luka berat
1. Agen Polisi K II Sukidjan / Oeripno
2. Agen Polisi K II Lasimin
3. AgenPolisiKIISuparlan
Korban yang masih hidup dan selamat;
1. Agen Polisi K II Ramelan, dan
2. Agen Polisi K II Suripto






Tiap tahun, bertepatan dengan HUT BHAYANGKARA 1 Juli selalu dikenang kembali jasa-jasa mereka sebagai para pejuang bangsa dalam rangka mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Polres Nganjuk beserta jajaran selalu melaksanakan upacara ziarah nasional di monumen Tragedi Ngadiboyo.
Saksi Sejarah:

Letkol Pol (Purn) Pagoe Koesnan.

lahir di Ponorogo, 25 Desember 1919. Mempunyai seorang Istri, Siti Soeketji. Alamat terakhir di Jl. Cendana 53, Desa Singonegaran Kecamatan Pesantren Kodya Kediri. Dinas terakhir di Kores 1022 Malang , pangkat terkahir Letkol. Pol. Purn. Nrp. 19120018. Pendidikan Umum HIS dan Sekolah Tekhnik, sedangkan pendidikan Militer / Polisi adalah Reqrut Junsa Kotoka Insp Pol Ulangan di Sukabumi tahun 1943.
Mendaftarkan sebagai anggota Polisi, 1 Juli 1943, dan pendidikan di Sekolah Polisi Sukabumi. Kemudian lulus tahun tanggal 1 Januari 1944 dengan pangkat Agen Polisi III dan ditempatkan di Kantor Polisi Kota Kediri. Pada tanggal 1 Juni 1945, Pagoe Koesnan dipindahkan di Sekolah Polisi Sukabumi (Kotoka). Kemudian dikembalikan dinas lagi di daerah yaitu menjadi Komandan Polisi di Kantor Polisi Nganjuk pada tanggal 1 Nopember 1947. Tanggal 1 Januari 1947 diangkat menjadi Pembantu Inspektur Pol Tk II. Mendapat kedudukan sebagai Pegawai Negeri Tetap pada tanggal 1 Januari 1950 dengan Skep No. Pol. : 2/99/32, tanggal 17 Juli 1952. Pada tahun 1952, mendapat kenaikan pangkat menjadi Pembantu Insp Pol Tk I pada tanggal 1 Agustus 1952, kemudian pada 1 Desember 1952 dipindahkan tugasnya ke Kantor Polisi Kota Kediri. Pagoe Koesnan menjabat sebagai Kepala Polisi Seksi II Kota Kediri selama 8 bulan, terhitung mulai tanggal 31 Januari 1954 sampai dengan 28 September 1954. Naik pangkat ( diherschik ) menjadi Insp Pol Tk II pada tanggal 1 April 1954. September 1954, beliau dipromosikan dan menduduki jabatan sebagai Kepala Kepolisian Wilayah Wlingi-Blitar. Mengikuti Pendidikan tambahan Inspektur Polisi Angk VI  pada tahun 1959. Pada tanggal 1 Oktober 1959, dipindahkan pada Kantor Polisi Resort Kediri di Pare.
Ketika terjadinya Tragedi Ngadiboyo Berpangkat Pembantu Inspektur Polisi Tk I . Menjabat Komandan sektor utara bermarkas di Dusun Wedegan, Desa Sambikerep Kecamatan Rejoso. Salah satu Pemrakarsa pemugaran / pemasangan Prasasti Monumen Tragedi Ngadiboyo, Pagoe Koesnan mengusulkan pada waktu pemugaran, tugu tidak perlu diubah. Hanya kalimatnya saja yang diganti, yaitu : “Di sini telah gugur Polisi Kabupaten Nganjuk dalam pertempuran melawan Belanda pada bulan April 1949”. Di bawah kalimat di atas, dituliskan nama – nama pejuang yang gugur dalam pertempuran Ngadiboyo. Landasan tugu / monumen cukup diubah landasannya saja. Jumlah trap diganti dari 4 menjadi 3 yang melambangkan TRI BRATA. Lantai Monumen dibuat segi lima melambangkan Pancasila. Hal itu menurut beliau Koenan berarti gugurnya para pejuang adalah menepati Tri Brata dalam mempertahankan Pancasila.

Peltu Pol (Purn) Ramelan ( almarhum ).

Masih berpangkat Agen Polisi II ketika terjadinya Tragedi Ngadiboyo tahun 1949. Tergabung dalam Regu Patroli Sektor Utara yang dipimpin Agen Polisi I Soekardi. Merupakan salah satu korban yang selamat dari Aksi penyerangan Belanda. Dan satu – satunya saksi sejarah yang terlibat langsung dalam Tragedi Ngadiboyo sehingga merupakan sumber sejarah yang bisa dipertanggung jawabkan kebenaran kisah ceritanya. Pensiun dengan pangkat Peltu, Ramelan bersama 10 rekan seperjuangannya (Djasman, Sukardi, Harjani, M.Najib, Suripto, Munadi, Maidi, Senen, Dani dan Sabi) pernah bergabung dengan pasukan dari BODM Daerah Bagor – Nganjuk, untuk mengadakan penghadangan Tentara Belanda.
Meledakkan jalan dan jembatan – jembatan yang sering dilewati rombonga tentara Belanda. Kemudian mereka bertemu dan bergabung dengan BARA ( Barisan Rahasia ) untuk bergerilya di wilayah Kota Nganjuk dan sekitarnya. Kemudian ke wilayah Ngluyu selama 1 minggu dan disana diserang pesawat Belanda. Gerilyawan bergerak keselatan menuju Kedungombo melewati wilayah Kecamatan Gondang, Sukomoro dan Pace (Kecubung).
Selama perjalanan, mereka membongkar jembatan – jembatan yang telah diperbaiki Belanda untuk mobilitas dan saling berhubungan dengan markas Belanda di daerah lain.
Selama 3 hari di Kedungombo, mereka diserang lagi oleh Tentara Belanda yang bermarkas di Mrican – Kediri. Mereka mundur ke wilayah Joho – Pace selama 3 hari. Kembali Belanda menyerang, mereka pindah ke daerah Ngetos selama 7 hari.
Gerilya diteruskan ke wilayah Sawahan. Di sana mereka menghadang iring – iringan tentara Belanda dan terjadi baku tembak. Gerilyawan pejuang berhasil merebut senjata otomatis (Bren) milik Belanda. Gerilya dilanjutkan di wilayah Berbek dan terakhir di Bagor sampai kembalinya kedaulatan ke Pemerintah RI, mereka kembali ke Induk Kepolisian masing-masing.

Lettu Pol (Purn) Satimin

Satimin adalah orang asli Nganjuk, sekarang bertempat tinggal di Desa Ngadiboyo Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk, dekat Monumen Ngadiboyo. Saat tragedi Ngadiboyo, Satimin seorang anggota prajurit Tentara Batalyon Guritno. Hanya, sekitar bulan Maret 1950, Satimin mengundurkan diri sebagai tentara dengan alasan untuk bertani.
Tiga tahun mengundurkan diri sebagai tentara, Satimin mendaftarkan diri untuk menjadi anggota polisi pada bulan Juli tahun 1953 di Kantor Polisi Kabupaten Nganjuk, dan diterima dengan tempat pendidikan di PPUK Porong (Pusat Pendidikan Ulangan Kepolisian di Porong) yang waktu itu masih merupakan Pabrik Gula peninggalan Belanda. Lulus Pendidikan tahun 1954 dengan pangkat Agen Polisi Tk II. Satimin kemudian ditarik untuk menjadi anggota Brimob dan masuk pendidikan tambahan lagi selama 3 bulan. Kemudian ditempatkan di Kompi 5480 Brimob Porong.
Pada Tahun 1957, Kompi 5480 Brimob Porong dikenal dengan sebutan Kompi Nakal. Karena memang ketika itu seluruh anggotanya selalu bergerak bersama – sama di manapun mereka berada. Kemudian Kompi 5480 dilebur, dipecah. Anggotanya tersebar di seluruh Indonesia. Sebuah bentuk sanksi dari sebuah kesalahan yang dilakukan bersama-sama dengan teman – teman satu Kompi. Beliau ditempatkan dinas di Kendari, Sulawesi Tenggara. Tepatnya di Polres Kendari sebagai Polisi Umum.
Setelah berdinas selama 7 tahun di Polres Kendari, tahun 1964 orang tua Satimin meninggal dunia. Kemudian dia mengajukan pindah dinas untuk pulang ke Nganjuk pada tahun 1965, di mana waktu itu situasi Indonesia terjadi Pemberontakan G30S/PKI. Satimin ditempatkan di Polsek Sawahan ( berpangkat Sersan). Sehabis tertumpasnya G30S/PKI, Satimin ditarik kembali ke Resort Nganjuk. Karir kepangkatannya naik, berjalan mulus tanpa hambatan dan menjabat sebagai Karo Personil Resort Nganjuk. Pada tahun 1975, Satimin masuk mendataftarkan diri untuk mengikuti seleksi Sekolah Calon Perwira ( Capa ). Beliau diterima dan lulus dengan pangkat Letda Pol. Dia kembali bertugas di jajaran Resort Nganjuk tahun 1976 dan menjabat sebagai Kapolsek Ngluyu. Kemudian pada tahun itu juga, beliau mendapat tugas ke Timor Timur ( Ops Seroja ) selama 11 bulan dan di sana menjabat sebagai Kapolsek dengan anggota Brimbo sebanyak 1 Peleton dari Kompi 18 Pekalongan. Sekembali dari tugas di Timtim, kembali ke Resort Nganjuk dan menjabat sebagai Kapolsek Patianrowo, Kapolsek Wilangan dan terakhir Kapolsek Lengkong. Mengajukan MPP dan Pensiun pada usia 55 tahun.

Kamis, 06 Agustus 2020

Perjuangan Batalyon 1 Mobile Brigade Besar Jawa Timur Di Tlogowaru Malang


Monumen Perjuangan Polri Tlogowaru terletak di perbatasan antara Desa Tlogowaru dan Desa Genengan. Monumen Perjuangan Polri Tlogowaru menceritakan peristiwa sejarah tentang penyerbuan terhadap anggota Mobile Brigade Polisi oleh pasukan Belanda.

Adapun peristiwanya sebagai berikut:

Pada agresi militer Belanda pertama, 21 Juli 1947, pasukan Republik kembali masuk ke Kota Malang untuk dipertahankan dari serbuan pasukan Belanda , salah satunya Yon 1 Mobile Brigade Besar Jawa Timur atau disingkat dengan Yon 1 MBB Jawa Timur. Pasukan Polisi yang membuat lini pertahanan di daerah Tlogowaru Malang. yon 1 Mobile Brigade Besar Jawa Timur dipimpin oleh IrPol. Tk. 1 R. wiratno, bersama kesatuan perjuangan lainnya melakukan pertahanan di sepanjang Sungai Manten yang membujur dari barat ke timur (arah desa Krebet). Saat pasukan Belanda menyerang dan menduduki Kota Malang. Adapun Yon 1 Mobile Brigade Besar Jawa Tmur membuat pertahanan di desa Tlogowaru, perbatasan dengan kecamatan Tajinan. Dipilihnya Desa Tlogowaru oleh Yon 1 Mobile brigade Besar Jawa Timur agar dapat menjalin komunikasi dengan staf komandonya di Desa Tajinan sebelah timur posisi mereka berada.

Yon 1 Mobile Brigade Besar Jawa Timur sambil bertahan mengadakan gangguan dan serangan terhadap tentara Belanda. Tentara Belanda membalas dengan melakukan serangan balik ke pertahanan Kompi PIP 1 Surapati di Desa Tlogowaru pada tanggal 10 September 1947. Terjadi pertempuran satu persatu antara tentara Belanda dengan anggota Mobile Brigade.

Mendengar ada suara tembak menembak di Tlogowaru maka Kompi cadangan Mobile Brigade di daerah Buring segera melakukan bantuan karena Buring dan Tlogowaru tidak jauh. Dengan adanya bantuan tersebut Kompi PIP 1 Surapati bertambah kekuatan tempurnya. Pasukan Belanda terdesak dan kabur kearah Kota Malang dengan kerugian yang amat banyak, baik tewas maupun luka-luka. Sementara itu, di pihak Kompi PIP 1 Surapati ada 14 orang Mobile Brigade yang gugur.
Dua bulan setelah peristiwa serangan ke pertahanan Kompi PIP 1 Surapati di Desa Tlogowaru pada tanggal 10 September 1947 yang mengakibatkan kekalahan di pihak Belanda. Pada tangal 9 November 1947, pasukan Belanda di Kendal banyak dikirim kembali ke sebelah barat Tlogowaru untuk aksi pembalasan ke Yon 1 Mobile Brigade Besar Jawa Timur, yang jarak antara Kendal Payak dan Tlogowaru -+ 3,5 km. Desa Kendal Payak merupakan pos II pasukan Belanda sebagai tempat peralatan perang dan transportasi, seperti tuk yang digunakan untuk mengangkut para tawanan perang yang kemudian dibawa ke pusat kota dan diinterogasi. Saat peristiwa penyerangan itu bertepatan dengan bulan purnama perkiran jam 02.00 pagi. 200 pasukan Belanda datang menyerbu tempat peristirahatan anggota Mobile Brigade Polisi.

Menurut saksi mata dan sekaligus korban yang bernama Warimin, ia melihat belanda datang dari arah barat Tlogowaru dengan menembaki rumah penduduk. Setelah sampai di desa Genengan, pasukan Belanda mulai memisahkan diri membentang dan mengelilingi desa. Dalam penyerbuan tersebut, pasukan Belanda mengambil senjata milik anggota Mobile Brigade yang sebelum tidur mereka menyembunyikan terlebih dahulu. Senjata yang disembunyikan jauh dari tempat anggota Mobile Brigade istirahat dan ditutupi dengan batang pisang yang tidak memungkinkan pihak Belanda mengetahui kecuali mereka menyusupkan seorang mata-mata.

Kusno, Durrakim, warimin, dan Ali Basor yang sedang keliling penjagaan desa di wilayah barat Tlogowaru dan dari wilayah timur Sawi, Taki, Dukah, Tami, dan Poniran ditangkap pasukan Belanda. Mereka semua diikat dengan tali yang terbuat dari kulit kayu. Kemudian berjajar dipinggir parit, ditendang dan dipukul menggunakan senjata. Setelah mereka mengikat dan menyiksa para penjaga desa bersamaan dengan itu anggota Mobile Brigade yang berada di dalam rumah Narijah diserang. Setealah mereka terbangun ditusuk menggunakan bayonet, ada pula yang terlebih dahulu diseret keluar rumah kemudian ditusuk. Hampir semua korban yang tewas isi perut mereka terurai keluar. Tiga anggota Brigade Mobile yaitu, Suwaji, Darmaji, dan Diono selamat dalam kejadian itu karena sempat melarikan diri kearah selatan dan menceburkan diri ke sungai. Sedangkan anggota lain ditemukan tewas terbakar diatas tumpukan sampah kedelai. Seorang anggota Mobile Brigade ada yang menyiasati tubuhnya dengan melumuri darah yang diambil dari tubuh temanya yang telah tewas dengan bersembunyi di bawah tempat tidur.

Kekejaman Belanda tidak hanya sampai disitu saja, jasad para anggota Mobile Brigade Polisi disandingkan pada tebing bukit, sehingga terlihat seperti dalam keadaan berdiri. Mereka yang gugur antara lain:

Agen Polisi I Abdul Rachman
Agen Polisi I Sukardi
Agen Polisi I Abdul Madjid
Agen Polisi II Soebadi
Agen Polisi II Selo
Agen Polisi II Ponidjan 
Agen Polisi II Amat
Agen Polisi II Koesaeri
Agen Polisi II Dirman
Agen Polisi II Imam
Agen Polisi II Satelim

Setelah anggota Mobile Brigade Polisi diyakini telah tewas, pasukan Belanda pergi dengan menmbaki rumah-rumah penduduk menggunakan senjata milik anggota Mobile Brigade Polisi yang telah gugur. Mereka kembali ke arah barat menuju daerah Kendal Payak bersama tawanan yang terdiri dari 4 anggota Mobile Brigade dan penduduk desa yang lain.

Sebagian tawanan ada yang dilepaskan, akan tetapi tidak diketahui apa yang menjadi sebab sehingga mereka dilepas. Suasana desa Tlogowaru dan Genengan setelah pertempuran yang semula warga bersembunyi, keluar dan datang ke tempat kejadian untuk melihat dan menolong korban yang masih selamat. Saat itu banyak penduduk yang melihat jasad para anggota Mobile Brigade Polisi gugur dengan cara yang tidak wajar dan berbagai posisi yang berbeda-beda, darah berceceran dimana-mana, dan banyak rumah-rumah terbakar. Jasad para anggota Mobile Brigade Polisi dibawa ke tempat asal mereka, karena tidak semua berasal dari Malang. Namun, masih dalam satu Provinsi Jawa Timur.

Perjuangan POLRI Di Tengah Hitam Putih Negara Republik Indonesia


Pada masa kolonial Belanda, pembentukan pasukan keamanan diawali oleh pembentukan pasukan-pasukan jaga yang diambil dari orang-orang pribumi untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia waktu itu. Pada 1867, sejumlah warga Eropa di Semarang merekrut 78 pribumi untuk menjaga keamanan mereka.

Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawabkan pada procureur generaal (jaksa agung). Pada masa Hindia Belanda, terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie (polisi lapangan), stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.

Sejalan dengan sistem administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan bumiputra. Pada dasarnya, bumiputra tidak diperkenankan menjabat hood agent (bintara), inspekteur van politie, dan commisaris van politie. Untuk pribumi, terdapat jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi.

Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara 1897-1920 adalah cikal bakal terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini.

Era Jepang

Pada masa pendudukan Jepang, wilayah kepolisian Indonesia terbagi menjadi Kepolisian Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera yang berpusat di Bukittinggi, Kepolisian wilayah Indonesia Timur berpusat di Makassar dan Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin.

Tiap-tiap kantor polisi di daerah, meski dikepalai bumiputra, selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam praktik lebih berkuasa dari kepala polisi.

Era Republik

Tidak lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka.

Komandan Polisi di Surabaya, Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, pada 21 Agustus 1945 memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia sebagai langkah awal. Selain melakukan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah perang, ia juga membangkitkan semangat moral dan patriotisme seluruh rakyat maupun satuan-satuan bersenjata yang sedang dilanda depresi akibat kekalahan perang yang panjang. 

Sebelumnya, pada 19 Agustus 1945, dibentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada 29 September 1945, Presiden Sukarno melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN).

Awalnya, kepolisian, dengan nama Djawatan Kepolisian Negara, secara administratif berada dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri. Sementara itu, secara operasional ia bertanggung jawab kepada Kejaksaan Agung.

Kemudian, sejak 1 Juli 1946, dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Tanggal 1 Juli inilah yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Bhayangkara hingga saat ini.

Pada masa Perang Kemerdekaan, Polri tak hanya bertugas sebagai penegak hukum, tetapi juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri menyatakan dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi Istimewa diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan bersenjata, seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di Surabaya, di front Sumatera Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI di Madiun, dan lain-lain.

Pada masa kabinet presidensial, pada 4 Februari 1948, dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri.

Pada masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata organisasi kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22 Desember 1948).

Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta.

Dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri.

Umur RIS hanya beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150, organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat kepolisian maupun administratif, organisatoris.

Dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S. Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden.

Waktu kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu, ia menjadi gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.

Sampai periode ini, kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisasi dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI), tidak ikut dalam Korpri seperti halnya pegawai sipil negara. Istri polisi, semenjak zaman revolusi, sudah membentuk organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari, tidak ikut dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi. 

Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang memenangi kursi di Konstituante dan Parlemen. Saat itu, semua gaji pegawai negeri berada di bawah gaji angkatan perang, tetapi P3RI memperjuangkan perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL), sehingga gaji Polri relatif lebih baik dibanding gaji pegawai negeri lainnya (mengacu standar PBB).

Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.

Pada 13 Juli 1959, dengan Keppres No. 154/1959, Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).

Ketika Presiden Sukarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya yang ingin menjaga profesionalisme kepolisian. Pada 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karier Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959.

Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun 1960, dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.

Pada 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini, dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU.

Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).

Sebutan Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara. Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri ditentukan sebagai berikut:
- Alat Negara Penegak Hukum.
- Koordinator Polsus.
- Ikut serta dalam pertahanan.
- Pembinaan Kamtibmas.
- Kekaryaan.
- Sebagai alat revolusi.



Berdasarkan Keppres No. 155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI menyamakan antara Angkatan Perang dan Polri selama satu tahun di Magelang. Karena pengalaman peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya integrasi antara unsur-unsur ABRI, terbit SK Presiden No. 132/1967 pada 24 Agustus 1967. 

Aturan itu menyebut ditetapkannya Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh panglima angkatan dan bertanggung jawab kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto adalah Menhankam/Pangab yang pertama.

Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Ternyata, integrasi ini menyulitkan Polri, yang memang bukan ditujukan sebagai angkatan perang.

Pada 1969, dengan Keppres No. 52/1969, sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, tetapi singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada 1 Juli 1969.

Peran Mobile Brigade Polisi Tumpas Gerombolan APRA



Berbicara tentang APRA, mau tidak mau membicarakan juga tokoh bernama Kapten Raymond Westerling. Di antara perwira-perwira Belanda yang pernah bertugas di Indonesia, agaknya westerling-lah yang paling "haus darah". Pada bulan Desember 1946, ia dan pasukannya dikirm oleh pemerintahan Belanda ke wilayayh Sulawesi Selatan untuk menghadapi para pejuang pribumi. Dalam jangka waktu tiga bulan, westerling dan pasukannya telah melakukan tindakan yang sangat keji, yaitu pembantaian terhadap ribuan rakyat pribumi yang tidak berdosa. Pimpinan tentara Belanda melihat bahwa tindakan yang telah dilakukan oleh westreling tersebut menyalahi aturan dan kurang berkenan di mata mereka sehingga akhirnya pada bulan Maret 1947 westerling dipindahkan dari Sulawesi Selatan ke wilayah Batujajar, Bandung, Jawa Barat. Namun, tindakan dan perilaku westeling tidak berubah dan masih memperlakukan rakyat sama seperti waktu bertugas di Sulawesi Selatan. Sehingga, ankhirnya ia mengundurkan diri dari dinas militer Belanda pada pertengahan tahun 1948.

Pada perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1949 Westerling berhasil membangun kekuatan militer yang disebut dengan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Anggota pasukan APRA terdiri dari mantan tentara Belanda yang melakukan desersi dan anggota Koninklijke Nederlandsche Indische lager (KNIL) yang merasa frustasi mengenai masa depanya setelah pemerintahan Indonesia dan Belanda mencapai kesepakatan/persetujuan politik. Dalam usaha menyusun kekuatan APRA, Westerling juga menjalin kerjasama dengan beberapa pejabat Negara Pasundan. Mereka berusaha dan mempengaruhi agar sebisa mungkin mempertahankan eksistensi Negara Pasundan dan menjadikan KNIL sebagai angkatan perang negara tersebut.

Pada 23 Januari 1950 APRA di bawah pimpinan langsung  Westerling mulai melakukan aksinya. Mereka melancarkan serangan ke kota Bandung. Mereka bergerrak dari wilayah Cililin dengan kekuatan mencapai 800 orang bersnejata lengkap. Bersamaan dengan itu, 2 peleton lainnya bergerak ke arah Jakarta dengan menggunakan kendaraan truk. Aksi yang mereka lakukan sangat biadab dan kejam. Mereka melucuti anggota polisi di Pos Cimahi, Cibeureum, dan pabrik Mecaf. Di samping itu, merreka juga menembaki siapa saja yang mereka temukan di jalan raya, terutama anggota TNI dari Div. Siliwangi.
Dalam waktu 1 hari saja APRA membunuh kira-kira 79 orang anggota TNI. Westerling berencana menyerbu Jakarta menggunakan jalur udara dari Lapangan Terbang Ciliitan Jakarta dan langsung menusuk ke kota Jakarta, namun rencana ini bocor

Untk menghadapi dan menumpas APRA serta untuk membantu TNI, Kepala Kepolisian Negara mengirimkan Kesatuan Mobrig jawa Timur dan Mobrig Jogjakarta, yang dipimpin oleh Komisaris Polisi Soedarsono yangkebetulan pada saat itu berada di Jakarta, serta Mobrig Jakarta Raya yang dipimpin Komisaris Polisi M. Ng. Soetjipto Joedodiharjo yang bertempat di Kwitang dan Kemayoran segra mengambil bagian dalam operasi APRA tersebut. Pimpinan AURI menyiapkan pesawat-pesawat Dakota sesuai permintaan Komandan Mobrig Pusat, Kombes. M. Jasin untuk mengangkut Pasukan Mobrig guna menduduki bandara Andir Kota Bandung. Perebutan lapangan terbang Andir sukses, rencana APRA gagal, sekitar jam 16.00 pasukan Mobrig mulai memasuki kota Bandung dan bertugas kurang lebih selama sebulan. Penrbangan yang dilakukan oleh Kesatuan Mobile Brigade (Mobrig) ke Bandung dalam upayanya menumpas Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) merupakan airlift pertama yang dilakukan di Indonesia dalam pelaksanaan operasi keamanan.

Pada hari itu juga, pasukan APRA berhaisl dipaksa meninggalkan kota Bandung berkat kesigapan aparat kepolisian dan TNI. Mereka melakukan razia secara intensif, sedangkan operasi pengejaran dilakukan terhadap pasukan APRA yang melarikan diri dan bergerak menuju Jakarta. Kesatuan TNI dan Kepolisian Negara berhasil menghancurkan dan menumpas pasukan APRA yang berada di wilayah Cianjur.

Gerakan APRA di Bandung merupakan bagian dari skenario yang disusun oleh Sultan Hamid II, seorang menteri tanpa portofolio dalam kabinet RIS. Direncanakan, APRA juga akan bergerak ke Jakarta, melancarkan serangan terhadap sidang kabinet. Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX dan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan, Ali Budiardjo serta Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel T.B. Simatupang termasuk sasaran yang akan dibunuh. Sebagai kamuflase, Sultan Hamid II akan ditembak kakinya. Rencana yang akan dilaksanakan pada 24 januari 1950 itu tercium oleh aparat intelijen sehingga gagal. Sultan Hamid II ditangkap, sedangkan Westerling melarikan diri ke luar negeri menggunakan pesawat Angkatan Laut Belanda.


Hidoep Itoe Perdjoeangan Mentjapai Tjita Tjita (War Story) | KASKUS


Bersamaan dengan pecahnya pemberontakan APRA di Bandung, pada awal tahun 1950-an di Jakarta muncul gerombolan Mat Item. Oleh Westerling gerombolan Mat Item ditugasi untuk mengganggu keamanan di jakarta agar kelak memudahkan APRA menyerbu ibukota dan membunuh para pemimpin RI, terutama anggota kabinet RIS.

Situasi yang tidak aman tersebut sangat meresahkan warga dan pemerintahan di Jakarta, Komandan Mobrig Pusat, Komisaris Besar M. Jasin mengambil langkah-langkah pengamanan. Pertama, melakukan konsolidasi kesatuan dan melakukan unjuk kekuatan (show of Force) di Jakarta. Pameran kekuatan itu ditampilkan dengan kegiatan melakukan penggerebekan tempat-tempat yang menjadi basis gerombolan Mat Item. Langkah berikutnya adalah membangun "stelsesl keamanan" yaitu dengan mendirikan pos-pos dan asrama Mobrig di daerah-daerah pinggiran kota Jakarta seperti di Ciputat, Cileduk, Cengkaremg, Cilincing, Cipinang, Pulo Gadung, Kramat Djati, dan Kedung Halang. total sebanyak 25 kompi Mobrig mengamankan Jakarta. Ini berarti kota Jakarta dari empat penjuru sudah dikelilingi pasukan Mobrig. Sehingga, pihak pengacau keamanan makin terdesak dan kocar-kacir tidak terorganisasi lagi.

Setelah itu kompi-kompi Mobrig banyak yang dikembalikan ke daerah asalnya. Tetapi banyak juga yang tetap tinggal di Jakarta. Pada tahun 1951, didirikanlah Kompi-kompi Mobrig yang ditempatkan di bekas markas/benteng sementara yang saat itu bertujuan untuk menghadapi Westerling.