Jumat, 07 Agustus 2020

Jenderal Hoegeng Iman Santoso, Polisi Jujur Berintegritas yang Namanya Abadi




Jenderal Polisi (Purn.) Hoegeng Imam Santoso lahir di Pekalongan, Jawa Tengah pada 14 Oktober 1921. Dia adalah salah satu tokoh kepolisian Indonesia yang pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) ke-5 yang bertugas dari tahun 1968-1971.

Menariknya nama jabatan Kapolri adalah idenya kala itu, menggantikan istilah Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak).

Berasal dari kalangan ningrat, Hoegeng masuk pendidikan HIS (setingkat SD) pada usia enam tahun, kemudian melanjutkan ke MULO (setingkat SMP) tahun 1934. Dia lantas menempuh sekolah menengah di AMS Westers Klasiek tahun 1937.

Setelah itu Hoegeng belajar ilmu hukum di Rechts Hoge School (RHS) Batavia tahun 1940. Sewaktu pendudukan Jepang, dia mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943). Setelah itu dia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang Semarang (1944), Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan Polisi Tentara Laut Jawa Tengah (1945-1946). Kemudian mengikuti pendidikan Polisi Akademi dan bekerja di bagian Purel, Jawatan Kepolisian Negara.

Tahun 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, Georgia, Amerika Serikat. Dari situ dia menjabat Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952). Lalu menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatra Utara (1956) di Medan.

Nama Hoegeng dikenal luas berkat aksinya dalam memberantas mafia kriminal meliputi korupsi, perjudian dan penyelundupan di Medan, Sumatera Utara. Dia menunjukkan integritas dan kejujuran sebagai petugas polisi dengan menolak tegas semua bentuk suap.

Sebagaimana salah satu kisahnya saat menolak gratifikasi mobil dan rumah mewah berikut perabot-perabotnya yang diberikan mafia untuknya. Alhasil Hoegeng beserta keluarganya lebih memilih untuk menginap di hotel.

Di Medan, Hoegeng dianggap sukses memberantas kejahatan konvensional. Hal ini membuatnya ditarik ke Jakarta mengemban beberapa tugas negara. Tahun 1959, Hoegeng mengikuti pendidikan Pendidikan Brimob dan menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara lalu Kepala Jawatan Imigrasi d i tahun 1960.

Cerita menarik turut terjadi dalam kariernya sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. Sehari sebelum dilantik, Hoegeng menutup usaha bunga milik sang istri, Meriyati “Merry” Roeslani. Pasalnya Hoegeng khawatir bunga barang dagangan sang istri diborong koleganya yang mengharapkan sesuatu darinya.

Tahun 1965 sebelum terjadinya pemberontakan G30S PKI, Hoegeng sempat menjadi Menteri luran Negara dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966. Setelah itu Hoegeng pindah kembali ke markas Kepolisian Negara kariernya terus menanjak. Di situ dia menjabat Deputi Operasi Pangak dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi juga masih dalam 1966.

Di masa Presiden Soeharto, Hoegeng dipercaya menjabat Pangak (Kapolri) pada 9 Mei 1968 menggantikan Soetjipto Joedodihardjo. Saat menjadi Kapolri, Hoegeng melakukan pembenahan beberapa bidang yang menyangkut struktur organisasi di tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur yang baru lebih terkesan lebih dinamis dan komunikatif.

Pada masa jabatannya terjadi perubahan nama pimpinan polisi dan markas besarnya. Berdasarkan Keppres No.52 Tahun 1969, sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) diubah menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri). Dengan begitu, nama Markas Besar Angkatan Kepolisian pun berubah menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabes Pol).

Perubahan itu membawa sejumlah konsekuensi untuk beberapa instansi yang berada di Kapolri. Misalnya sebutan Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) menjadi Kepala Daerah Kepolisian RI atau Kadapol. Demikian pula sebutan Seskoak menjadi Seskopol.

Di bawah kepemimpinan Hoegeng peran serta Polri dalam peta organisasi Polisi Internasional, International Criminal Police Organization (ICPO) makin aktif. Hal itu ditandai dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.

Kebijakan penting lainnya yang lahir dari kepemimpinan Hoegeng yaitu kewajiban pengendara motor untuk mengenakan helm. Kebijakan ini dicetuskannya lantaran melihat tingginya angka kematian akibat kecelakaan sepeda motor.

Namun integritas dan kejujuran Hoegeng pula yang membuatnya diberhentikan dari jabatan Kapolri. Lantaran kegigihannya dalam menyelidiki kasus-kasus hukum dan kriminal yang bersinggungan dengan kepentingan penguasa. Khususnya kasus penyelundupan mobil mewah yang dilakukan Robby Tjahjadi dan pemerkosaan gadis desa Sum Kuning.

Karena terlalu vokal menyuarakan kebenaran, Hoegeng dipensiunkan dini pada 2 Oktober 1971 dengan alasan peremajaan institusi. Anehnya, pengganti Hoegeng yaitu Mohamad Hasan berusia lebih tua ketimbang Hoegeng.

Semasa pensiun, Hoegeng melakoni hobinya bernyanyi dan bermain musik, khususnya dengan kelompok pemusik Hawaii, The Hawaiian Seniors. Selain ikut menyanyi, dia juga memainkan ukulele. Dia juga tampil selama setahun di televisi bersama dengan kelompok musik tersebut.

Di tahun 1980 Hoegeng bersama 49 tokoh menandatangani Petisi 50, gerakan kritik kepada Rezim Soeharto yang dianggap melenceng dari tujuan awal kemerdekaan RI. Karena kritiknya tersebut, hak-hak perdata Hoegeng bersama para tokoh lainnya dikebiri, termasuk hak ekonomi. Dia bahkan sempat dilarang menghadiri peringatan HUT Bhayangkara.

Hoegeng meninggal pada 14 Juli 2004 di umur 82 tahun karena strok. Namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Bahayangkara di Mamuju dengan nama Rumah Sakit Bhayangkara Hoegeng Imam Santoso.


0 komentar:

Posting Komentar