Jumat, 07 Agustus 2020

Tragedi Ngadiboyo Nganjuk 1949



Kisah Perjuangan Polisi Nganjuk 1949






Tepatnya 14 April 1949 sekitar pukul 20.00 WIB. Hari itu, suasana di sejumlah wilayah Kabupaten Nganjuk sangat mencekam, karena Belanda dalam agresi militer keduanya berhasil menduduki kota Nganjuk. Situasi ini memaksa Insp Pol Tk 1 A. Wiratno Puspoatmojo, yang saat itu sebagai Kepala Polisi Kabupaten Nganjuk (Kapolres) untuk mengambil tindakan cepat. Insp Pol Tk 1 Wiratno memerintahkan anggotanya untuk melaksanakan patroli dan penyisiran ke daerah pinggiran untuk mempertahankan wilayah serta melindungi masyarakat Nganjuk. Selain itu juga untuk mencegah agar pasukan/tentara Belanda yang berusaha memasuki wilayah Nganjuk lewat perbatasan tidak bertambah banyak. Sedikitnya ada dua regu yang diperintah oleh Kepala Polisi Kabupaten Nganjuk untuk patroli. Satu regu bergerak ke arah sektor selatan, berkedudukan di Desa Nglaban Kecamatan Loceret, dipimpin langsung oleh Insp Pol Tk 1 A. Wiratno Puspoatmojo. Satunya lagi, di sektor utara dipimpin Pembantu Inspektur Polisi II Pagoe Koesnan. Rombongan patroli sektor utara dipimpin Agen Polisi I Soekardi, beranggotakan 17 Polisi Rombongan sektor utara bermarkas di Dukuh Baleturi, Desa Ngadiboyo, di sebuah Loji (sebutan bangunan Belanda), yakni perumahan milik Perhutani Nganjuk.
Patroli dilaksanakan dengan jalan kaki, mengarah ke Dukuh Alas Jalin, Desa Ngadiboyo. Lantaran waktu itu, minim sarana untuk mendukung tugas Patroli. Mungkin keuntungan Patroli jalan kaki waktu itu adalah lebih bisa menyisir wilayah-wilayah lebih ke dalam dan terpisah, sehingga gerakan mereka tidak mudah diketahui Belanda. Selain itu, regu patroli pejuang polri lebih menguasai medan dibandingkan dengan tentara Belanda sehingga menguntungkan pejuang bila terjadi pertempuran. Mereka menyusuri pematang sawah, hutan, serta pemukiman penduduk. Lokasi rumah penduduk satu dengan lainnya masih berjauhan, membuat para Pejuang Polisi lebih waspada, sigap dan siaga dalam melaksanakan tugas patroli.

Sekitar tengah malam, patroli hingga sampai Dusun Alas Jalin, perbatasan Nganjuk – Madiun. Para Pejuang Polisi bertemu tentara Belanda yang bermarkas di wilayah Saradan, Kabupaten Madiun. Akhirnya terjadi kontak senjata antara kedua belah pihak. Sebenarnya pihak pejuang menyadari kekuatan kedua belah pihak tidak berimbang. Di pihak musuh (Belanda) dilengkapi senjata lebih modern dibanding senjata yang dimiliki para pejuang yaitu M95 (Mannlicher M1895 ). Tak heran, para pejuang berhasil dipukul mundur dan patroli dihentikan. Para pejuang kembali ke markas semula di Loji, Dusun Turi, Desa Ngadiboyo, sekitar pukul 03.20 WIB. Mereka beristirahat hingga tertidur karena kelelahan setelah melakukan patroli.
Tidak menyangka, ternyata pelarian para pejuan diikuti terus oleh tentara Belanda. Hingga sampai ditemukan markas para pejuang di Dusun Turi, Desa Ngadiboyo. Para Pejuang Polisi yang sudah terlelap tidur tidak mengira sama sekali, bahaya telah mengancam. Tiba-tiba tentara Belanda menyerang markas dari arah selatan Loji. Mengetahui serangan berasal dari tentara Belanda, para pejuang lebih memilih bertahan dalam kegelapan Loji, tanpa sorot lampu. Pagi yang gelap gulita itu, memaksa tentara Belanda mendobrak pintu Loji dan memaksa masuk, mencari persembunyian para polisi. Dengan membawa lampu “belor”, mengantarkan cahaya lampu itu ke persembunyian para pejuang. Dengan nada keras, tentara Belanda memaksa para pejuang untuk keluar dari persembunyiannya dan berkumpul di halaman. Namun tak satupun para pejuang menuruti perintah tentara Belanda.
Tentara Benlanda percaya bahwa para pejuang tidak lagi memiliki kemampuan untuk menyerang balik, lantaran persenjataan dan amunisi yang dimiliki sudah menipis saat serangan di perbatasan Nganjuk – Madiun. Perintah untuk keluar tidak dituruti oleh para pejuang, hingga terpaksa tentara Belanda memaksanya keluar.

Dua orang tentara Belanda terus mendobrak masuk dan mengarahkan lampu “belor” ke seluruh ruangan. Seorang membawa senjata lengkap sambil menenteng lampu “belor”, satunya lagi mengawal temannya dengan terus berteriak, “keluar…keluar…”. Sepasukan lainnya berjaga-jaga diluar Loji. Saking jengkelnya, akhirnya tentara Belanda menyeret para Pejuang Polisi ke luar ruangan untuk berkumpul di halaman. Mereka berdiri berjajar sambil mengangkat tangan. Aksi tutup mulut dari pihak para pejuang terus terjadi hingga menyulut kegeraman pihak tentara Belanda. Lebih-lebih, saat ditanya, apakah di dalam Loji telah tersimpan senjata, tidak mendapat jawaban. Tiba-tiba Belanda memberondongkan senjatanya arah para Pejuang Polisi, para Pejuang Polisi berusaha lari untuk menyelamatkan diri akan tetapi sebanyak 12 orang meninggal di tempat, tiga orang luka berat, dan dua orang berhasil melarikan diri. Selesai melakukan penyerangan, Tentara Belanda kembali kemarkasnya di Saradan.

Tiga korban luka berat, yakni Lasimin, Sukidjan alias Oeripno, dan Suparlan. Sedangkan dua Pejuang Polisi yang berhasil lolos, yakni Agen Polisi II Ramelan dan Agen Polisi II Suripto. Ramelan kabur dari kepungan tentara Belanda dengan membobol pintu belakang Loji. Mereka bersembunyi dalam parit belakang Loji, lalu berlari dengan membawa senjata rekan – rekannya yang telah gugur ditembak tentara Belanda. Ramelan berlari menuju Pos Wedegan, Kecamatan Rejoso untuk minta bantuan Pembantu Inspektur Polisi I Pagoe Koesnan.
Bersamaan suara keras tembakan dari arah Desa Ngadiboyo, di tempat lain, Kesatuan Batalyon Guritno langsung bergerak mencari sumber tembakan. Dalam perjalanan sekitar 8 kilometer, salah satu anggota batalyon Guritno, Satimin menghampiri warga masyarakat sedang membawa tiga korban luka berat menuju Pos Kesehatan Tentara di Desa Ngujung, Kecamatan Gondang. Saat ditanya, salah satu korban menjawab, “Saya korban pertempuran Turi”.

Menerima laporan, Pagoe Koesnan langsung langsung bergerak menuju ke Loji Dusun Baleturi Desa Ngadiboyo bersama sejumlah warga Rejoso. Mereka langsung menolong korban yang masih hidup dan mengevakuasi jenazah para Pejuang Polisi yang gugur. Evakuasi berlangsung selama sekitar dua jam tersebut, dipimpin Kepala Polisi Nganjuk Insp Pol Tk 1 Wiratno Puspoatmojo. Korban hidup dilarikan ke Pos Kesehatan Tentara di desa Ngujung – Gondang. Sedangkan, pejuang yang gugur, jenazahnya dimakamkan di Desa Balonggebang Kecamatan Gondang.
Pertempuran para Pejuang Polisi melawan tentara Belanda, 15 April 1949 tersebut dikenang sebagai “Tragedi Ngadiboyo”. Sedikitnya 12 Pejuang Polisi meninggal, 3 luka berat, dan dua selamat, di lokasi (Loji milik Perhutani) Dusun Baleturi, Desa Ngadiboyo, Kecamatan Rejoso. Untuk mengenang jasa perjuangan para Pejuang Polisi yang gugur mempertahankan kemerdekaan RI, 15 di lokasi tersebut dibangun sebuah monumen “Tragedi Ngadiboyo”.

Dalam pertempuran Ngadiboyo, 12 Pejuang Polri gugur, yaitu;

1. Agen Pol Kelas II Bagoes
2. Agen Pol Kelas II Diran / Sogol
3. Agen Pol Kelas II Laiman
4. Agen Pol Kelas II Soekatmo
5. Agen Pol Kelas II Moestadjab
6. Agen Pol Kelas II Soemargo
7. Agen Pol Kelas II Sardjono
8. Agen Pol Kelas II Saimun,
9. Agen Pol Kelas II Samad
10. Agen Pol Kelas II Masidi
11. Agen Pol Kelas II Simin, dan
12. Agen Pol Kelas II Musadi.
Korban luka berat
1. Agen Polisi K II Sukidjan / Oeripno
2. Agen Polisi K II Lasimin
3. AgenPolisiKIISuparlan
Korban yang masih hidup dan selamat;
1. Agen Polisi K II Ramelan, dan
2. Agen Polisi K II Suripto






Tiap tahun, bertepatan dengan HUT BHAYANGKARA 1 Juli selalu dikenang kembali jasa-jasa mereka sebagai para pejuang bangsa dalam rangka mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Polres Nganjuk beserta jajaran selalu melaksanakan upacara ziarah nasional di monumen Tragedi Ngadiboyo.
Saksi Sejarah:

Letkol Pol (Purn) Pagoe Koesnan.

lahir di Ponorogo, 25 Desember 1919. Mempunyai seorang Istri, Siti Soeketji. Alamat terakhir di Jl. Cendana 53, Desa Singonegaran Kecamatan Pesantren Kodya Kediri. Dinas terakhir di Kores 1022 Malang , pangkat terkahir Letkol. Pol. Purn. Nrp. 19120018. Pendidikan Umum HIS dan Sekolah Tekhnik, sedangkan pendidikan Militer / Polisi adalah Reqrut Junsa Kotoka Insp Pol Ulangan di Sukabumi tahun 1943.
Mendaftarkan sebagai anggota Polisi, 1 Juli 1943, dan pendidikan di Sekolah Polisi Sukabumi. Kemudian lulus tahun tanggal 1 Januari 1944 dengan pangkat Agen Polisi III dan ditempatkan di Kantor Polisi Kota Kediri. Pada tanggal 1 Juni 1945, Pagoe Koesnan dipindahkan di Sekolah Polisi Sukabumi (Kotoka). Kemudian dikembalikan dinas lagi di daerah yaitu menjadi Komandan Polisi di Kantor Polisi Nganjuk pada tanggal 1 Nopember 1947. Tanggal 1 Januari 1947 diangkat menjadi Pembantu Inspektur Pol Tk II. Mendapat kedudukan sebagai Pegawai Negeri Tetap pada tanggal 1 Januari 1950 dengan Skep No. Pol. : 2/99/32, tanggal 17 Juli 1952. Pada tahun 1952, mendapat kenaikan pangkat menjadi Pembantu Insp Pol Tk I pada tanggal 1 Agustus 1952, kemudian pada 1 Desember 1952 dipindahkan tugasnya ke Kantor Polisi Kota Kediri. Pagoe Koesnan menjabat sebagai Kepala Polisi Seksi II Kota Kediri selama 8 bulan, terhitung mulai tanggal 31 Januari 1954 sampai dengan 28 September 1954. Naik pangkat ( diherschik ) menjadi Insp Pol Tk II pada tanggal 1 April 1954. September 1954, beliau dipromosikan dan menduduki jabatan sebagai Kepala Kepolisian Wilayah Wlingi-Blitar. Mengikuti Pendidikan tambahan Inspektur Polisi Angk VI  pada tahun 1959. Pada tanggal 1 Oktober 1959, dipindahkan pada Kantor Polisi Resort Kediri di Pare.
Ketika terjadinya Tragedi Ngadiboyo Berpangkat Pembantu Inspektur Polisi Tk I . Menjabat Komandan sektor utara bermarkas di Dusun Wedegan, Desa Sambikerep Kecamatan Rejoso. Salah satu Pemrakarsa pemugaran / pemasangan Prasasti Monumen Tragedi Ngadiboyo, Pagoe Koesnan mengusulkan pada waktu pemugaran, tugu tidak perlu diubah. Hanya kalimatnya saja yang diganti, yaitu : “Di sini telah gugur Polisi Kabupaten Nganjuk dalam pertempuran melawan Belanda pada bulan April 1949”. Di bawah kalimat di atas, dituliskan nama – nama pejuang yang gugur dalam pertempuran Ngadiboyo. Landasan tugu / monumen cukup diubah landasannya saja. Jumlah trap diganti dari 4 menjadi 3 yang melambangkan TRI BRATA. Lantai Monumen dibuat segi lima melambangkan Pancasila. Hal itu menurut beliau Koenan berarti gugurnya para pejuang adalah menepati Tri Brata dalam mempertahankan Pancasila.

Peltu Pol (Purn) Ramelan ( almarhum ).

Masih berpangkat Agen Polisi II ketika terjadinya Tragedi Ngadiboyo tahun 1949. Tergabung dalam Regu Patroli Sektor Utara yang dipimpin Agen Polisi I Soekardi. Merupakan salah satu korban yang selamat dari Aksi penyerangan Belanda. Dan satu – satunya saksi sejarah yang terlibat langsung dalam Tragedi Ngadiboyo sehingga merupakan sumber sejarah yang bisa dipertanggung jawabkan kebenaran kisah ceritanya. Pensiun dengan pangkat Peltu, Ramelan bersama 10 rekan seperjuangannya (Djasman, Sukardi, Harjani, M.Najib, Suripto, Munadi, Maidi, Senen, Dani dan Sabi) pernah bergabung dengan pasukan dari BODM Daerah Bagor – Nganjuk, untuk mengadakan penghadangan Tentara Belanda.
Meledakkan jalan dan jembatan – jembatan yang sering dilewati rombonga tentara Belanda. Kemudian mereka bertemu dan bergabung dengan BARA ( Barisan Rahasia ) untuk bergerilya di wilayah Kota Nganjuk dan sekitarnya. Kemudian ke wilayah Ngluyu selama 1 minggu dan disana diserang pesawat Belanda. Gerilyawan bergerak keselatan menuju Kedungombo melewati wilayah Kecamatan Gondang, Sukomoro dan Pace (Kecubung).
Selama perjalanan, mereka membongkar jembatan – jembatan yang telah diperbaiki Belanda untuk mobilitas dan saling berhubungan dengan markas Belanda di daerah lain.
Selama 3 hari di Kedungombo, mereka diserang lagi oleh Tentara Belanda yang bermarkas di Mrican – Kediri. Mereka mundur ke wilayah Joho – Pace selama 3 hari. Kembali Belanda menyerang, mereka pindah ke daerah Ngetos selama 7 hari.
Gerilya diteruskan ke wilayah Sawahan. Di sana mereka menghadang iring – iringan tentara Belanda dan terjadi baku tembak. Gerilyawan pejuang berhasil merebut senjata otomatis (Bren) milik Belanda. Gerilya dilanjutkan di wilayah Berbek dan terakhir di Bagor sampai kembalinya kedaulatan ke Pemerintah RI, mereka kembali ke Induk Kepolisian masing-masing.

Lettu Pol (Purn) Satimin

Satimin adalah orang asli Nganjuk, sekarang bertempat tinggal di Desa Ngadiboyo Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk, dekat Monumen Ngadiboyo. Saat tragedi Ngadiboyo, Satimin seorang anggota prajurit Tentara Batalyon Guritno. Hanya, sekitar bulan Maret 1950, Satimin mengundurkan diri sebagai tentara dengan alasan untuk bertani.
Tiga tahun mengundurkan diri sebagai tentara, Satimin mendaftarkan diri untuk menjadi anggota polisi pada bulan Juli tahun 1953 di Kantor Polisi Kabupaten Nganjuk, dan diterima dengan tempat pendidikan di PPUK Porong (Pusat Pendidikan Ulangan Kepolisian di Porong) yang waktu itu masih merupakan Pabrik Gula peninggalan Belanda. Lulus Pendidikan tahun 1954 dengan pangkat Agen Polisi Tk II. Satimin kemudian ditarik untuk menjadi anggota Brimob dan masuk pendidikan tambahan lagi selama 3 bulan. Kemudian ditempatkan di Kompi 5480 Brimob Porong.
Pada Tahun 1957, Kompi 5480 Brimob Porong dikenal dengan sebutan Kompi Nakal. Karena memang ketika itu seluruh anggotanya selalu bergerak bersama – sama di manapun mereka berada. Kemudian Kompi 5480 dilebur, dipecah. Anggotanya tersebar di seluruh Indonesia. Sebuah bentuk sanksi dari sebuah kesalahan yang dilakukan bersama-sama dengan teman – teman satu Kompi. Beliau ditempatkan dinas di Kendari, Sulawesi Tenggara. Tepatnya di Polres Kendari sebagai Polisi Umum.
Setelah berdinas selama 7 tahun di Polres Kendari, tahun 1964 orang tua Satimin meninggal dunia. Kemudian dia mengajukan pindah dinas untuk pulang ke Nganjuk pada tahun 1965, di mana waktu itu situasi Indonesia terjadi Pemberontakan G30S/PKI. Satimin ditempatkan di Polsek Sawahan ( berpangkat Sersan). Sehabis tertumpasnya G30S/PKI, Satimin ditarik kembali ke Resort Nganjuk. Karir kepangkatannya naik, berjalan mulus tanpa hambatan dan menjabat sebagai Karo Personil Resort Nganjuk. Pada tahun 1975, Satimin masuk mendataftarkan diri untuk mengikuti seleksi Sekolah Calon Perwira ( Capa ). Beliau diterima dan lulus dengan pangkat Letda Pol. Dia kembali bertugas di jajaran Resort Nganjuk tahun 1976 dan menjabat sebagai Kapolsek Ngluyu. Kemudian pada tahun itu juga, beliau mendapat tugas ke Timor Timur ( Ops Seroja ) selama 11 bulan dan di sana menjabat sebagai Kapolsek dengan anggota Brimbo sebanyak 1 Peleton dari Kompi 18 Pekalongan. Sekembali dari tugas di Timtim, kembali ke Resort Nganjuk dan menjabat sebagai Kapolsek Patianrowo, Kapolsek Wilangan dan terakhir Kapolsek Lengkong. Mengajukan MPP dan Pensiun pada usia 55 tahun.

0 komentar:

Posting Komentar